Page 59 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 27 AGUSTUS 2020
P. 59
Akibatnya, apa pun yang akan dilakukan parpol oposisi atau elemen masyarakat yang menolak
akan menjadi mentah kalau berkaitan dengan partai-partai pendukung pemerintah. "Cuma
persoalannya katanya pemerintah dan DPR ingin aspiratif, menjaga demokrasi. Kalau sepakat
dengan demokrasi, maka yang namanya kedaulatan rakyat itu harus diutamakan. Jadi bukan
agenda sendiri yang berjalan, jadi bukan agendanya pemerintah, bukan agenda DPR, bukan
agenda pengusaha, tapi agenda rakyat," tuturnya.
Sebab, menurut Ujang, RUU ini nantinya jika disahkan menjadi undang-undang akan mengikat
rakyat, mengikat buruh. "Yang paling merasakan dampaknya itu buruh, maka jangan lagi
memaksakan kehendak seperti yang lalu-lalu, seperti revisi UU KPK, revisi UU Minerba,"
sebutnya.
Ujang mengatakan, hal yang menjadi persoalan saat ini adalah bagaimana hari ini dengan
kekuatan yang dimilikinya pemerintah dan DPR justru berselingkuh membelakangi rakyat.
"Ini bukan fenomena demokrasi yang sehat, bukan fenomena demokrasi yang menjunjung nilai-
nilai hak rakyat. Ketika rakyat ada masalah, ketika rakyat menderita, ketika rakyat menolak, ya
jangan paksakan untuk disahkan," tuturnya.
Ditegaskan Ujang, bagaimanapun inti dari demokrasi dan inti dari bernegara adalah bagaimana
mengikuti kehendak rakyat, bukan kehendak penguasa ataupun pengusaha. "Hal yang harus
didahulukan adalah kepentingan rakyat, harus diutamakan daripada kepentingan lain. Ini harus
menjadi perhatian elite di parlemen," urainya.
Disinggung mengenai dilema parpol yang sudah menjalin kesepakatan koalisi dengan
pemerintah, Ujang mengatakan bahwa membangun sebuah koalisi bukan berarti harus
melanggar hak-hak rakyat. "Koalisi tidak untuk menolak aspirasi publik, tidak untuk
membelakangi keinginan rakyat. Mereka hadir justru untuk menggolkan aspirasi dan kehendak
rakyat itu. Bagaimana nanti solusinya dengan pemerintah, ini kan bisa dikompromikan," katanya.
Ujang menegaskan bahwa persoalan yang terjadi saat ini adalah adanya sebuah agenda besar
yang memang didesain bukan untuk kepentingan rakyat dan buruh, tapi untuk kepentingan
pihak-pihak tertentu.
Hal yang terjadi kemudian adalah DPR hari ini sudah menjadi stempel bagi pemerintah. "Saya
jadi ingat Orde Baru, ini hanya zamannya saja yang berubah. Sekarang ini tidak ada keinginan
pemerintah yang tidak diiyakan oleh DPR. Ini kan lucu, kan bahaya. Justru DPR menjadi alat
legitimasi atau alat stempel bagi pemerintah, hari ini faktanya seperti itu," ucapnya.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, dalam catatan
KSPI berjudul "Catatan Kritis Omnibus Law RUU Cipta Kerja (Kluster Ketenagakerjaan)", ada 9
poin keberatan buruh. Pertama, potensi hilangnya upah minimum, potensi hilangnya pesangon,
karyawan kontrak tanpa batasan waktu, outsourcing bisa di semua jenis pekerjaan. Selanjutnya
TKA buruh kasar berpotensi bebas masuk ke Indonesia, hilangnya Jaminan Sosial, mudahnya
PHK, dan hilangnya sanksi pidana bagi pengusaha.
"Saat ini saja yang masih ada sanksi masih banyak pelanggaran terjadi. Bagaimana kalau tidak
ada sanksi?" kata Said Iqbal di Jakarta, Jumat (21/8).
Sementara itu anggota Panja RUU Cipta Kerja DPR Lamhot Sinaga menyebut sudah ada titik
temu antara DPR dan serikat pekerja mengenai poin-poin krusial dalam RUU Ciptaker.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) ini mengatakan dirinya sepakat bahwa harus ada investasi yang
masuk ke Indonesia sebagai solusi mengatasi pengangguran. Perlindungan terhadap buruh dan
pekerja dalam pembentukan RUU Ciptaker harus diutamakan.
58