Page 25 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 26 OKTOBER 2020
P. 25

Bukan  ujug-ujug  kalau  pemerintah  langsung  mengubah  gaya  kepemimpinannya.  Apalagi
              mengubah proses demokrasi yang sudah berjalan dengan baik. Tak mungkin seorang presiden
              mengubah  situasi  kalau  tak  ada  penyebabnya.  Masalahnya,  anarki  bukan  hanya  terjadi  di
              lapangan. Di media sosial, pembentukan opini juga terkadang tidak terkontrol. Padahal belum
              tentu berita yang dimobilisasi itu benar. Tapi berita itu mempengaruhi psikologi banyak orang,
              sehingga memudahkan mereka turun ke lapangan.

              Contohnya seperti apa?

              Kemarin  banyak  yang  ditangkapi  polisi.  Begitu  diinterogasi,  mereka  tidak  mengerti  apa-apa.
              Mereka  bilang  hanya  (tahu)  dari  media  sosial.  Ada  sebagian  yang  digerakkan.  Saya  sudah
              berkonsultasi  dengan  Menteri  Komunikasi  dan  Informatika  soal  kekhawatiran  teman-teman
              perihal upaya represif dari pemerintah terhadap media sosial. Beliau jelaskan bahwa Undang-
              Undang  Informasi  dan  Transaksi  Elektronik  (UU  ITE)  itu  sudah  ada  sejak  2008.  Amanatnya
              adalah  menjaga  ruang  digital  supaya  tetap  bersih,  sehat,  dan  bermanfaat.  Begitu  aturan
              ditegakkan, semuanya ribut. Padahal hanya yang melanggar yang di-takedown. Itu pun setelah
              dilakukan uji kesahihan dan verifikasi yang detail. Tak bisa ujug-ujug.
              Jadi, tidak ada yang berubah dari gaya kepemimpinan Jokowi?

              Pada dasarnya persoalan kebebasan berpendapat tak ada yang berubah. Tiap hari di depan
              Istana  ada  demonstrasi.  Tak  ada  yang  mengusik.  Kita  harus  bisa  membedakan  antara
              demonstrasi dan kerusuhan. Itu dua hal yang sangat berbeda. Dalam mengelola demokrasi, kami
              punya  kalkulasi.  Demokrasi  yang  tidak dikelola dengan  baik,  ujungnya anarkis  dan  stabilitas
              terganggu.

              UU  ITE  tampaknya  digunakan  maksimal  kepada  kelompok  yang  menyuarakan  suara  kritis,
              termasuk memasuki grup WhatsApp…

              Kalau menyangkut konten, polisi pasti memanggil ahli, seperti ahli bahasa. Saksi ahli yang nanti
              mengartikan apakah itu termasuk fitnah ataukah ujaran kebencian. Saya tidak bisa menjawab
              dan menjelaskan. Saya ibaratkan sebuah pohon yang miring, mungkin saat ini hanya miring satu
              derajat.  Tapi,  begitu  dibiarkan,  lama-kelamaan  derajat  kemiringannya  semakin  lebar.  Kalau
              sudah begitu, tidak mudah diluruskan. Maka, yang jadi pedoman adalah konten digital yang
              bersih, sehat, dan bermanfaat.

              Masyarakat merasa buntu untuk menyampaikan masukan atas pembahasan undang-undang.
              Apakah memang ruang partisipasi publik ditutup demi alasan kecepatan?

              Prosesnya tidak seperti yang masyarakat pahami. Saya ikut dua kali bertemu dengan pimpinan-
              pimpinan  asosiasi  buruh  (untuk  UU  Cipta  Kerja),  termasuk  Said  Iqbal  (Presiden  Konfederasi
              Serikat  Pekerja  Indonesia).  Saya  tanya  Menteri  Ketenagakerjaan  Ida  Fauziyah.  Menurut  dia,
              tripartit dengan pengusaha juga dilaksanakan sekitar 14 kali.

              Ada dugaan para perwakilan itu diundang sebagai legitimasi.

              Sebenarnya  tidak  juga.  Said  Iqbal  membawa  buku  tentang  usulan-usulan  yang  menjadi
              pemikiran  buruh  dan  diserahkan  ke  Menko  Polhukam  Mahfud  Md.,  para  menteri,  dan  saya.
              Persoalannya,  memang  tak  semua  kepentingan  dalam  sebuah  kebijakan  dipenuhi.  Posisi
              pemerintah mencari keseimbangan, memikirkan yang sekarang, dan memikirkan anak-anak kita
              yang sekarang antre mencari pekerjaan. Di sana ada diskusi. Kecuali kalau dia datang, tanda
              tangan, pas pulang dikasih amplop, itu baru namanya legitimasi. Ini diskusi, bukan formalitas.

              Nahdlatul  Ulama,  Muhammadiyah,  dan  Forum  Rektor  juga  menolak  UU  Cipta  Kerja,  tapi
              diabaikan  pemerintah.  Kemampuan  Presiden  mendengar  suara  publik  berkurang.  Apa  yang
              terjadi?
                                                           24
   20   21   22   23   24   25   26   27   28   29   30