Page 67 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 26 OKTOBER 2020
P. 67
karena yang memerlukan pekerjaan, sehingga bila tidak memenuhi kriteria dari perusahaan atau
pengusaha, buruh dapat dipecat atau di Pi IK. Selain itu kesejahteraan dari buruh pun masih
rendah, masih banyak pengusaha atau perusahaan yang tidak memasukkan pekerjanya dalam
jaminan kesehatan, kesejahteraan, dan jaminan keselamatan kerja. Bagi pihak-pihak yang tidak
senang dengan pemerintahan, buruh menjadi objek politik. Demonstrasi besar-besaran, mogok
kerja yang dilakukan oleh buruh mengakibatkan produksi barang dan jasa akan terhambat,
sehingga akan mengakibatkan lumpuhnya perekonomian.
Sebelum disahkannya UU Cipta kerja, persoalan ketenagakerjaan diatur melalui UU No 13 Tahun
2003, yang diantaranya mengatur tentang hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin
kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. Meski demikian dalam pelaksanaannya masih ada
pengusaha yang tidak mengindahkan peraturan, masih ada buruh yang diupah dibawah UMP,
diputus kontrak kerja tanpa uang pesangon, ataupun tidak diberikan tunjangan hari raya dan
lain sebagainya.
Kondisi buruh di Sulawesi Selatan juga masih mengalami nasib yangsama hingga tahun pertama
periode kedua pemerintahan Jokowi. Sebagai gambaran, berdasarkan hasil survei angkatan kerja
nasional yangdilakukan sebelum pandemi Covid-19 saja,tingkat pengangguran terbuka (TPT)
Sulsel terus mengalami peningkatan dalam 4 tahun terakhir, yaitu dari 4,77 persen pada Februari
2017 atau sebanyak 190.441 penganggur, terus meningkat menjadi menjadi 6,07 persen pada
Februari 2020 atau sebanyak 252.499 penganggur. Adapun peningkatan jumlah pengangguran
yang berstatus buruh di Sulawesi Selatan terutama disebabkan oleh habis masa kontrak
sebanyak 27,10 persen, pendapatan kurang memuaskan sebanyak 19,4 persen, tidak cocok
dengan lingkungan kerja sebanyak 16,6 persen, PI IK sebanyak 7,1 persen dan alasan lainnya
sebanyak 29,8 persen.
Dari gambaran tersebut, terlihat bahwa selain karena habisnya masa kontrak, maka peningkatan
pengangguran di kalangan buruh umumnya terjadi karena pendapatan yang kurang memuaskan
dan kondisi lingkungan kerja yang tidak kondusif. Alhasil, buruh memutuskan untuk berhenti
atau mencari pekerjaan lain yang lebih baik daripada tempatnya bekerja sebelumnya.
Berangkat dari fenomena di atas, maka pemerintah tidak boleh tinggal diam. Karena itu
kehadiran UU Cipta Kerja, bisa jadi sebagai bentuk kepedulian pemerintahan Jokowi untuk
memperbaiki nasib buruh selama ini. Yaitu dengan merevisi pasal-pasal UU ketenagakerjaan
yang dianggap sudah usang dan tidak sesuai lagi dengan kondisi jaman saat ini. Apalagi di masa
Revolusi Industri 4.0, dimana banyak pabrik atau perusahaan yang sudah mulai menggantikan
tenaga-tenaga buruh dengan tenaga mesin yang dianggap lebih produktif dan murah. Contoh
kecil saja, seperti penjaga gerbang tol yang dulunya menggunakan tenaga manusia sekarang
tergantikan oleh tenaga mesin. Bahkan di beberapa negara, seperti China, ada yang sudah
menggantikan 90 persen karyawan pabriknya dengan tenaga robot Tentu ini akan menjadi
ancaman tersendiri bagi bangsa Indonesia yang memasuki era bonus demografi atau ke-
limpahan penduduk usia kerja.
Belajar dari pengalaman di atas, sudah sewajarnya jika pemerintah tidak hanya fokus terhadap
peningkatan kesejahteraan buruh tetapi juga terhadap kelangsungan pekerjaannya yaitu dengan
meningkatkan kualitas buruh agar memiliki daya butuh yang tinggi, sehingga tidak mudah dijajah
oleh pihak pengusaha ataupun tergantikan oleh tenaga mesin. Pemerintah pun perlu mencetak
moral masyarakat, agar tidak hanya sekadar menjadi buruh, tetapi menjadi pengusaha yang
mandiri dan tidak hanya bergantung kepada orang lain. Pemerintah juga perlu menjamin iklim
dan kemudahan berinvestasi, yang selama ini mungkin terganjal oleh pasal-pasal ataupun
perizinan-perizinan yang kompleks, agar ekonomi di daerah-daerah bisa tumbuh, dan pen-
ciptaan lapangan-lapangan kerja baru terus bertambah. (*)
66