Page 127 - KLIPING KETENAGAKERJAAN 14 OKTOBER 2020
P. 127
PASAL PESANGON BURUH DIGUGAT
Para pihak yang merasa dirugikan oleh Undang Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), mulai
menempuh jalur hukum. Mereka mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Pasal-pasal yang digugat seputar klaster ketenagakerjaan, antara lain masalah pesangon, nasib
status pekerja karena ada pasal kontrak waktu tertentu, dan masalah upah pekerja (UMK).
Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima dua berkas pengajuan permohonan uji materi
tersebut dan segera memprosesnya, kendati UU Ciptaker belum ditandatangani Presiden Joko
Widodo (Jokowi) dan diberi nomor. ''Ya tidak apa-apa, diproses saja sesuai prosedur dan hukum
acara,'' ujar Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri MK, Fajar Laksono di Jakarta,
Selasa (13/10). Permohonan uji materi UU Ciptaker diajukan oleh Dewa Putu Reza dan Ayu Putri
selaku pekerja dengan nomor tanda terima 2034/PAN.MK/X/2020. Mereka memberi kuasa
kepada Seira Tamara Herlambang dan Zico Leonard D Simanjuntak. Permohonan kedua diajukan
Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (DPP FSPS) dengan nomor
tanda terima 2035/PAN.- MK/X/2020.
Ketua Umum DPP FSPS, Deni Sunarya dan Sekretaris Umum Muhammad Hafiz mewakili gugatan
tersebut di MK. Berdasar berkas permohonan yang diunggah di situs resmi MK, Dewa dan Ayu
mempermasalahkan Pasal 59, Pasal 156 Ayat (2) dan Ayat (3), Pasal 79 Ayat (2) huruf b dan
Pasal 78 Ayat (1) huruf b UU Ciptaker klaster Ketenagakerjaan. Menurut penggugat, UU Ciptaker
tidak memberikan perlindungan dan kepastian hukum status kepegawaian mereka. UU juga
dinilai memberikan kewenangan bagi perusahaan untuk mengadakan perjanjian kerja waktu
tertentu (PKWT) secara terus-menerus tanpa batasan waktu pembaruan.
UU Ciptaker juga dinilai merenggut hak para pemohon sebagai pekerja mendapatkan imbalan
atas pekerjaan dan dedikasinya bagi perusahaan berupa pesangon dan uang penghargaan yang
layak. ''Keberlakuan undang-undang a quo akan memposisikan para pemohon sebagai pekerja
dengan beban kerja yang berlebih. Sebab undang-undang a quo telah mengurangi jumlah hari
istirahat mingguan dan menambah durasi maksimal lembur bagi pekerja," bunyi petikan
permohonan tersebut. Melalui permohonannya, Dewa Putu Reza dan Ayu Putri meminta MK
menyatakan Pasal 59, Pasal 156 Ayat (2) dan Ayat (3), Pasal 79 Ayat (2) huruf b dan Pasal 78
Ayat (1) huruf b klaster Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sementara itu, pemohon dari DPP FSPS menyoal
Pasal 81 angka 15, angka 19, angka 25, angka 29 dan angka 44 UU Ciptaker. Pasal 81 angka 15
mengubah ketentuan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan terkait PKWT. Pasal 81 angka 19 menghapus
ketentuan Pasal 65 UU Ketenagakerjaan.
Pasal ini mengatur tentang perjanjian pemborongan pekerjaan secara tertulis. Lalu, Pasal 81
angka 25 mengatur tentang ketentuan baru yakni Pasal 88D mengenai upah minimum pekerja.
Sedangkan Pasal 81 angka 29 menghapus Pasal 91 UU Ketenagakerjaan mengenai pengaturan
pengupahan. Pasal 81 angka 44 mengubah Pasal 156 UU Ketenagakerjaan. Pasal ini mengatur
mengenai kewajiban perusahaan membayar uang pesangon atau uang penghargaan jika terjadi
pemutusan hubungan kerja. Para pemohon meminta agar pasalpasal tersebut dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945.
Salinan Kedua permohonan itu tidak mencantumkan nomor dari UU Ciptaker, tetapi ada bukti
naskah yang dilampirkan. Menurut Fajar, jika UU Ciptaker sudah ditandatangani presiden dan
diberi nomor, pemohon dapat menyertakannya dalam proses perbaikan permohonan.
"Sepanjang masih dalam rentang waktu perbaikan permohonan, bisa saja," kata dia.
Sementara itu, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo meminta Pemerintah Pusat segera
menyampaikan draf salinan resmi UU Ciptaker kepada masyarakat. Dengan demikian, publik bisa
mempelajari dan memahami setiap pasal yang ditetapkan. Ganjar juga membuka posko
pengaduan kepada masyarakat yang ingin memberikan masukan atau berkonsultasi. Apakah
126