Page 341 - KLIPING KETENAGAKERJAAN 14 OKTOBER 2020
P. 341
Mereka juga menyerukan perlawanan atas tindakan kekerasan, intimidasi, kriminalisasi, teror,
dan pembungkaman berbicara serta pengerahan kekuatan yang berlebihan dalam penanganan
pengamanan massa aksi dijalan, kampus dan kawasan industri. "Polisi adalah alat negara, bukan
menjadi alat pemerintah," kata Asfinawati, perwakilan Fraksi Rakyat Indonesia (FRI).
Dikonfirmasi terpisah, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menegaskan, bahwa UU
Cipta Kerja tidakmenghapus ketentuan eksisting yang berkaitan dengan UpahMinimum
Termasuksoal UpahMinimumProvinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).
Prinsipnya, UMP bersifat wajib ditetapkan. Sedangkan UMK ditetapkan dengan syarat tertentu.
"Syarat tertentunya ini yaitu memperhatikan pertumbuhan ekonomi dan inflasi," ujarnya.
Menurutnya, syarat ini diperlukan agar UMK yang nantinya ditetapkan tidak hanya terlihat bagus
diatas kertas. Tapi, juga dapat diimplementasikan dengan baik Nah, bagi perusahaan yang
mampu melaksanakan ketentuan upah di atas UMP dan UMK masih terdapat ruang melalui
pengaturan dalam Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama, termasuk mengatur
upah yang bersifat sektoral. Proses ini dapat mendorong pekerja/buruh berpartisipasi dalam
proses dialog dengan perusahaan. Ketentuan ini sejalan dengan standar internasional yang
menyatakan bahwa pengupahan secara mendasar disepakati antara pengusaha dan
pekerja/buruh. Selain itu, UU Cipta Kerja juga menegaskan bahwa bagi pengusaha yang telah
memberikan upah lebih tinggi dari upah minimum yang ditetapkan sebelum Undang-Undang ini
"Jadi, pengusaha dilarang mengurangi atau menurunkan upah," tegasnya.
Sementara itu, mengenai PHK, diakuinya, sejak berlakunya UU 13/2003, ketentuan mengenai
pelaksanaan pembayaran kompensasi PHK tidak berjalan sebagaimana mestinya. Persentase
pelaksanaan pembayaran uang pesangon cenderung lebih kecil nilainya daripada yang diatur
dalam UU 13/2003.
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan tahun 2019, disebutkan bahwa dari sekitar 536
perjanjian bersama (PB) kasus PHK, yang memenuhi pembayaran kompensasi sesuai dengan
ketentuan UU 13/2003 hanya 27 persen atau sekitar 147 PB. Sedangkan sisanya, melakukan
pembayaran kompensasi PHK sesuai dengan UU 13/2003 tetapi memberikan dalam bentuk
lainnya.
Data ini sejalan dengan laporan World Bank tahun 2010 yang mengutip data Sakernas BPS 2008,
dimana berdasarkan laporan pekerja hanya 7 persen pekerja yang menerima pesangon sesuai
dengan ketentuan UU 13/2003. Sementara, 27 persen pekerja menerima pesangon namun tidak
seseuai dengan yang seharusnya diterima sesuai UU 13/2003 dan sisanya, 66 persen pekerja
sama sekali tidakmendapat pesangon.
"Dalam prakteknya, pembayaran uang pesangon lebih dipengaruhi oleh proses negosiasi sehigga
besaran yang diterima pekerja atau buruh di bawah ketentuan," paparnya.
Berdasarkan fakta dan data di atas, lanjut dia, maka konstruksi hukum yang dibangun dalam UU
Cipta Kerja dalam meningkatkan perlindungan bagi pekerja/buruh yang mengalami PHK lebih
menekankan pada aspek kepastian pembayaran kompensasi PHK. Ditambah dengan perluasan
perlindungan melalui program Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang berbasis pada pemberian
uang tunai, akses informasi pasar kerja dan pelatihan kerja."Untuk mendukung pengaturan
tersebut, maka diperlukan penyesuaian atas besaran kompensasi PHK," katanya.
Dia menambahkan, fokus perlindungan yang diatur dalam UU Cipta Kerja bukan saja
meningkatkan penguatan perlindungan bagi pekerja PKWTr (tetap), namun juga memperluas
perlindungan kerja bagi pekerja/buruh PKWT/kontrak Salah satunya melalui pengaturan
kompensasi kepada pekerja/buruh PKWT sesuai dengan masa kerja di perusahaan yang
pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
340