Page 211 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 1 OKTOBER 2020
P. 211

kontrak tidak akan dapat JKP, karena dalam Omnibus Law diatur kompensasi buruh kontrak yang
              diberikan setelah bekerja selama 1 tahun," tegasnya.
              Selasa, 29 September 2020 - 18:43  Begitu pula nasib buruh outsourcing. Karena, menurut Said,
              tidak mungkin agen outsourcing harus membayar JKP. Apalagi, kemudian buruh outsourcing
              hanya  dikontrak  agen  di  bawah  satu  tahun  atau  perusahaan  pengguna  pekerja  outsourcing
              mengembalikan ke agen sebelum habis masa kontraknya. "Dari mana uang agen outsourcing?
              Lalu kemudian siapa yang bayar JKPnya?" ucapnya.

              Said berpandangan, saat ini tidak mungkin dan tidak masuk akal kalau JKP untuk karyawan
              kontrak  dan  outsourcing  dibayar  negara.  Karena  APBN  bisa  jebol.  Karena  jumlah  karyawan
              kontrak dan outsourcing itu, 70-80 persen dari total jumlah buruh formal yang bekerja sekitar
              56  juta  orang,  dan  turn  over  keluar  masuk  mereka  sangat  tinggi.  "Jika  JKP-nya  ditanggung
              pemerintah, darimana dananya?" katanya.

              Sementara JKP ditanggung pemerintah, menurut kesepakatan Panja adalah JKP 9 bulan untuk
              pesangon karyawan tetap. Bukan JKP untuk karyawan kontrak atau outsourcing melalui agen.
              Bisa saja pemerintah menyetujui ini, karena tahu kalau ke depan sudah tidak ada lagi karyawan
              tetap. "DPR setuju dengan karyawan kontrak dan pekerja outsourcing seumur hidup berarti no
              job security atau tidak ada kepastian kerja bagi buruh Indonesia," ujarnya.

              Hal sama diungkap Ketua Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining
              Elitos. Dia mengatakan, diubahnya aturan tentang perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) akan
              menimbulkan  ketidakpastian  bagi  tenaga  kerja.  Dalam  RUU  Cipta  kerja,  menurutnya,
              menghilangkan  pasal  59  tentang  ketenagakerjaan  yang  membahas  PKWT.  "Kan  ini  (PKWT)
              sudah jelas aturan mainnya, pembatasannya, waktunya. Tapi kenapa justru RUU Cipta Kerja
              menghilangkannya," ujarnya.

              Menurut Nining, hilangnya pasal tersebut telah memperlihatkan ketidakpastian bagi tenaga kerja
              dan pemerintah semakin liberal terkait persoalan tenaga kerja. Dengan upah yang murah dan
              ketidakpastian  kerja.  "Pemerintah  justru  terkesan  mengobral tenaga  kerja.  Ke depan  tenaga
              kerja kita semakin tidak jelas. Dan Omnibus Law ini jadi malapetaka," ungkapnya. (nas).




































                                                           210
   206   207   208   209   210   211   212   213   214   215   216