Page 34 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 13 NOVEMBER 2020
P. 34
Keberpihakan yang bias
Keberpihakan pemerintah yang tinggi ke pekerja formal berakibat fatal. Tiga konsep UM tadi
sulit dilakukan dalam kondisi riil ketenagakerjaan kita yang menghadapi dualisme pasar kerja.
Marilah kita lihat fakta berikut, sesuai data BPS Februari 2020, jumlah penduduk yang bekerja
131,03 juta orang. Sebanyak 74,04 juta orang (56,50 persen) bekerja pada kegiatan informal;
hampir 70 persen hanya tamatan SLTP.
Data Sensus Ekonomi 2016 menyebutkan ada 26,7 juta badan usaha pemberi kerja, tetapi hanya
447.000 (2 persen) badan usaha skala menengah dan besar, dengan 16,6 juta pekerja.
Kebijakan pemerintah biasanya selalu fokus mengatur kelompok 2 persen ini, kemungkinan
karena pada skala usaha inilah pemerintah mendapat pajak yang besar. Namun ada 26,2 juta
usaha kecil dan mikro dengan 53,7 juta pekerja yang kurang mendapat perhatian, tetapi dipaksa
harus mengikuti aturan UM yang seyogianya hanya relevan mengatur kelompok 2 persen badan
usaha.
Bagaimana mungkin kedua kelompok ini diharuskan membayar kewajiban yang sama,
sementara kemampuan berbeda? Bagaimana mengharapkan ada kepatuhan pembayaran UM
yang sama antara pemilik hotel melati dan hotel bintang lima. Atau kepatuhan usaha warung
dengan restoran mewah, warung kelontong dengan toko Indomaret?
Ini juga dilema yang dihadapi pengawas ketenagakerjaan, bagaimana melakukan penegakan
hukum kepada pelaku usaha kecil, mikro ini, sebab hampir 99 persen kelompok usaha ini tidak
mampu membayar kewajiban UM ditambah dengan kewajiban iuran jaminan sosial Jamsostek
dan kesehatan. Apabila dilakukan pendekatan law enforee-ment, jutaan pelaku usaha kecil dan
mikro terancam dipidanakan.
Maka, pertanyaan yang mendasar adalah siapakah yang sesungguhnya menikmati kebijakan UM
ini? Jawabannya adalah kelompok pekerja pada usaha menengah dan besar. Namun tidak
semuanya! Sebab, penelitian Bank Pembangunan Asia menyebutkan, tingkat kepatuhan
pembayaran UM hanya terjadi pada 47,2 persen perusahaan.
Kepatuhan tertinggi ada pada sektor garmen dan tekstil. Itu pun akibat advokasi dari serikat
buruh yang kebetulan eksistensinya tinggi di sektor ini. Konvensi ILO Nomor 131 tentang Fixing
Minimum Wages menyatakan, penetapan upah minimum harus memenuhi empat syarat:
cakupannya harus luas; didasarkan pada perundingan tripartit, mempertimbangkan kebutuhan
keluarga dan faktor ekonomi, dan yang terakhir merekomendasikan agar perumusannya keep it
as simple as possible.
Formula upah berkeadilan
Formula penetapan UM Indonesia selalu berubah sesuai kebutuhan bisnis jangka pendek. Pada
masa Orde Baru, UM ditetapkan dengan konsep upah minimum regional (UMR), dengan dasar
komponen kebutuhan hidup buruh.
Setelah Reformasi 1998, diubah lagi dengan menambah komponen dan ada tambahan UM
kabupaten/kota dan upah minimum sektoral melalui UU No 13 Tahun 2003. Tahun 2015,
rumusan UM kembali diubah dengan PP No 78 Tahun 2015 (mengganti PP No 8 Tahun 1981),
dan terakhir diubah tahun 2020 dengan UU Cipta Kerja.
Kenapa Indonesia suka mengubah kebijakan UM Jawaban lugasnya karena kurangnya kapasitas
perencanaan Kementerian Ketenagakerjaan membuat sistem pengupahan yang sederhana,
dengan kepatuhan dan cakupan yang lebih luas. Ini juga bertalian dengan keberadaan menteri
tenaga kerja yang selama ini tidak dianggap penting karena penunjukannya bukan karena
33