Page 62 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 1 MARET 2021
P. 62
Agar persoalan ini bisa diselesaikan, pemerintah melalui Perpres Nomor 39 Tahun 2019 tentang
Satu Data Indonesia (SDI) berupaya memperbaiki sengkarut itu dengan meningkatkan kualitas
tata kelola data di pemerintahan.
Salah satu langkah untuk mempercepat implementasi SDI adalah sinkronisasi data. Caranya,
dengan sinergi antar lembayang terlibat dalam program SDI. Seperti dalam penyaluran bansos,
persoalan pemutakhiran Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) belum dilakukan berkala di
level mikro seperti masyarakat desa.
Permasalahan data itu mencakup: data tidak lengkap, adanya duplikasi NIK (nomor induk
kependudukan), data tidak ter-update, data tidak padan, dan data penerima bantuan yang
tumpang tindih.
Kepala Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial (Kemensos), Said
Mirza Pahlevi, menyatakan bahwa hingga saat ini DTKS merupakan data yang memberikan
informasi lengkap mengenai kondisi sosial ekonomi rumah tangga miskin dan tidak mampu.
DTKS dipakai dalam program perlindungan dan pemberdayaan sosial guna meningkatkan
ketepatan sasaran dari penerima manfaat.
"Saat wabah Covid-19 muncul, DTKS memiliki komplementaritas dengan sejumlah program
perlindungan dari pemerintah dan digunakan sebagai acuan pemberian bansos terkait dampak
sosial-ekonomi akibat Covid-19," kata Said dalam webinar vang digelar IATI pada 9 September
2 020.
Tumpang tindih data bansos karena terdapat beberapa NIK dalam satu KK yang menerima
bantuan yang sama. Akibatnya, pembagian bansos menjadi kurang tepat sasaran. "Data tidak
ter-update untuk lokasi domisili, status pekerjaan, dan keberadaan warga, seperti masih hidup
atau sudah meninggal," ujarnya.
Dalam perkembangannya, hingga saat ini pemutakhiran data terus dilakukan lewat koordinasi
dengan pemerintah daerah. Verifikasi data penerima bantuan, seperti di Jawa Barat, dilakukan
di tingkat desa bahkan RW. Forum data nasional dan daerah yang terdiri dari para pemangku
kepentingan SDI menyepakati sejumlah seperti standar data bansos, metadata bansos, kode
referensi, interoperabilitas, dan daftar data.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Wahyudi Kumorotomo,
berpendapat, kebijakan Satu Data Indonesia atau One Map Policy (OMP) yang digagas
pemerintah dapat digunakan untuk sektor sosial dan pendidikan.
Pemerintah, menurut Wahyudi, akan terlebih dulu memperbaiki data yang berhubungan dengan
informasi geospasial dan pemetaan tanah. Kalaupun integrasi data dilakukan untuk sektor sosial,
maka data akan diambil dari sumber yang ada.
"Jika mengacu pada kebijakan, OMP tak berkaitan langsung dengan pemberian bansos.
Melainkan harus disambungkan dengan basis data kependudukan," ujar Wahyudi kepada
wartawan Gatra Arif Koes Hernawan.
Kepala Departemen Administrasi Publik FISIP UGM itu menyatakan, konsep satu data menjadi
bagian tak terpisahkan antara data geospasial dan data kependudukan.
"Jika semuanya beres, peta bisa untuk menambah data atribut seperti alamat orang. Data lahan
bisa disinkronkan dengan data kependudukan. Artinya, data penduduk dengan lokasinya
terintegrasi dengan NIK," ucapnya.
Kemanfaatan satu data tersebut akan dirasakan oleh masyarakat. Selama dilakukan hampir
setiap tahun, dan menyesuaikan mobilitas dari masyarakat. "Kalau warga pindah, semua urusan
61