Page 341 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 12 OKTOBER 2020
P. 341
Disharmoni regulasi itu, tentu saja dapat berakibat tidak efektifnya pelaksanaan dari setiap
aturan yang ada sehingga, dalam rangka 'menertibkan' aturan yang tumpang tindih tadi,
omnibus law diharapkan mampu menjawab tantangan itu. Apalagi, terhadap isu-isu besar yang
sifatnya krusial. Artinya, secara konseptual, UU Omnibus Law Ciptaker ini, sebenarnya satu
kebutuhan hukum modern yang memiliki maksud dan tujuan yang baik.
Secara prosedural, pembentukan UU Omnibus law Ciptaker ini sebenarnya telah melalui proses
pembahasan yang tidak sebentar dan sangat terbuka, juga melibatkan partisipasi dan masukan
berbagai elemen masyarakat.
UU Omnibus Law Ciptaker yang sudah disahkan ini, setidaknya mengandung 11 klaster yang
mengatur persoalan multisektor. Mulai dari ketenagakerjaan hingga isu lingkungan hidup. Dari
11 kluster itu, suara penolakan terhadap UU Ciptaker ini lebih banyak ditujukan pada Bab IV
tentang Ketenagakerjaan yang dianggap mengandung pasal-pasal bermasalah dan kontroversial
terkait hak buruh. Sebagai contoh, informasi yang mengatakan hilangnya hak pesangon dalam
UU Ciptaker. Padahal, persoalan pesangon masih diatur dengan jelas di dalam UU itu.
Informasi yang banyak beredar di ruang publik juga menyatakan, dengan berlakunya UU
Ciptaker itu, aturan pengupahan terhadap buruh akan dihitung perjam. Padahal, kalau kita lihat
Pasal 88B UU Ciptaker tidak ditemukan ketentuan demikian meskipun ketentuan di pasal itu
menyatakan upah ditetapkan dengan satuan waktu. Namun, hal itu tidak bisa langsung diartikan
menjadi upah perjam.
Informasi yang salah seperti ini juga tampak dalam hak cuti dan jaminan sosial. Padahal, dalam
UU Ciptaker ini, yaitu pada BAB IV tentang Ketenagakerjaan, hak-hak itu masih diatur dengan
ketentuan yang lebih baik. Bahkan, diikuti penambahan hak baru yaitu jaminan kehilangan
pekerjaan.
Selanjutnya terkait persoalan PHK, UU Ciptaker masih mengatur hal ini dengan tetap
menetapkan proses, prosedur, dan persyaratan yang panjang. Aninya, perlindungan terhadap
buruh atas PHK yang diatur dalam UU Ciptaker ini masih sangat proporsional.
Bahkan di sisi lain, dalam hal pekerja yang terikat perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), UU
Ciptaker menetapkan terobosan baru, dengan memberikan kompensasi bagi pekerja. Termasuk,
dalam hal penggunaan TKA, UU Ciptaker masih menetapkan syarat, keadaan, dan prosedur
tertentu bagi perusahan dalam memperkerjakan TKA. Hal itu melindungi kepentingan buruh
dalam negeri.
Persepsi masyarakat
Intinya, narasi yang banyak beredar di ruang publik, yang menyebutkan UU Ciptaker dapat
menghilangkan atau mengurangi hak-hak buruh yang selama ini sudah diatur dalam UU yang
telah ada, yaitu UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan ialah narasi yang tidak berdasar.
Karena, secara tekstual, pasal-pasal yang dimaksud, dan yang berkaitan dengan sektor
ketenagakerjaan dalam UU Ciptaker itu, justru melindungi pekerja dengan konsep dan kualitas
perlindungan yang lebih baik.
Dengan kata lain, alasan penolakan sebagian masyarakat terhadap UU Omnibus Law Ciptaker
ini, lahir dari konklusi atau kesimpulan yang tidak tepat, dan inilah poin penting yang sebenarnya
menjadi krusial.
Dalam kacamata lain, penolakan terhadap UU ini menunjukkan, sosialisasi masih kurang massif,
kurang efektif dan efisien. Masyarakat perlu terus diberikan informasi, edukasi dan pemahaman
yang rigid tentang UU ciptaker ini. Agar, jangan sampai opini yang salah yang justru berkembang
luas di ruang publik, dan mempengaruhi persepsi masyarakat dan buruh saat ini.
340