Page 357 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 12 OKTOBER 2020
P. 357
Ada 10 disinformasi dan hoax yang diluruskan Presiden Jokowi.
Pertama bahwa upah minum provinsi (UMP), upah minimum kabupaten/ kota (UMK), dan upah
minimum sektoral tetap berlaku, tidak dihapus. Kedua, upah minimum tidak dihitung per jam,
melainkan bisa dihitung berdasarkan waktu dan berdasarkan hasil. Ketiga, semua hak cuti tetap
berlaku, tidak dihapus. Keempat, perusahaan tidak bisa mem-PHK karyawan secara sepihak dan
semena-mena.
Kelima, jaminan sosial pekerja tetap ada. Keenam, analisis mengenai dampak lingkungan bagi
industri tetap berlaku, tidak ditiadakan, hanya prosedurnya dipermudah. Ketujuh, tidak benar
bahwa UU Ciptaker mendorong komersialisasi lembaga pendidikan dan mengatur perizinan
pondok pesantren. Yang diatur hanya pendidikan formal di kawasan ekonomi khusus (KEK).
Kedelapan, keberadaan bank tanah yang diatur dalam UU Ciptaker bukan untuk merampas hak
masyarakat bawah, tetapi untuk menjamin akses masyarakat terhadap kepemilikan lahan dan
tanah. Kesembilan, UU Ciptaker tidak mereduksi kewenangan pemda dan menambah
kewenangan pemerintah pusat. Kesepuluh, kewenangan perizinan di luar perizinan berusaha
tetap di pemda.
Apakah pernyataan Presiden Jokowi langsung membuat pihak-pihak yang selama ini menolak
dan mengecam UU Ciptaker langsung 'bertobat? Belum tentu. Kabar burung tentang keburukan-
keburukan UU Ciptaker sudah kadung menyebar, meresap, dan tertancap kuat di benak sebagian
masyarakat Kabar miring itu terus menggelinding, membesar, bak bola salju.
Persepsi negatif mengenai UU Ciptaker bukan terbentuk dalam sehari atau dua hari, melainkan
telah mengendap berbulan-bulan, bahkan ber-tahun-tahun. Apalagi, selain tidak tersosialisasikan
dengan baik, pengadministrasian UU Ciptaker tergolong amburadul, terutama jika berkaca pada
revisi yang masih dilakukan DPR dan banyaknya versi salinan UU Ciptaker yang beredar di
masyarakat, termasuk yang diunggah di website DPR.
Mengingat persepsi negatif tentang UU Ciptaker sudah lama terbentuk, tak mudah bagi
pemerintah dan DPR untuk meluruskan dan menjernihkannya. Kalangan buruh baru akan
menyadari bahwa apa yang diyakininya selama ini salah setelah UU Cipta Kerja diberlakukan.
Mereka baru akan tersadar setelah merasakan sendiri implementasi UU tersebut.
Karena itu, satu-satunya cara untuk meyakinkan para buruh adalah mempercepat payung hukum
turunan yang bakal menjadi juklak-juknis UU Ciptaker. Itu sebelumnya pula, pemerintah harus
habis-habisan mengerahkan segala daya dan upaya untuk segera menerbitkan turunan UU
Ciptaker, baik berupa peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden (perpres), peraturan
menteri (permen), maupun peraturan-peraturan lainnya.
Paling penting, payung hukum turunan UU Ciptaker harus rinci, jelas, tegas, dan bernas
mengatur berbagi hal yang diamanatkan UU Ciptaker. Jangan ada area abu-abu. Tak boleh ada
'klausul karet' yang akan memberi celah bagi siapa pun, baik kalangan buruh, pengusaha,
maupun pemerintah, untuk memanipulasi UU ini. Setiap klausul harus bersifat hitam putih.
Untuk menghasilkan juklak-juknis yang rinci, jelas, tegas, dan bernas, tentu pemerintah harus
merangkul para pemangku kepentingan lain, khususnya buruh dan pengusaha, sambil terus
menyosialisasikan UU Ciptaker. Pemerintah tak perlu canggung bermusyawarah dengan para
buruh. Keterlibatan buruh akan membuat UU Ciptaker beserta juklak-juknisnya lebih kredibel
dan akseptabel. Bukankah masalah yang dihadapi pemerintah sekarang adalah soal
akseptabilitas?
"Pemerintah tak perlu canggung bermusyawarah dengan buruh. Keterlibatan buruh akan
membuat UU Ciptaker beserta juklak-juknisnya lebih kredibel dan akseptabel."
356