Page 290 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 21 OKTOBER 2020
P. 290
yang menyatakan penolakan, seperti PBNU dan PP Muhammadiyah, hingga mengumpulkan para
kepala daerah dan pengusaha.
OMNIBUS LAW CIPTA KERJA, 'KADO' JOKOWI BUAT BURUH
Cuitan Presiden Joko Widodo ( Jokowi ) soal dukungan Bank Dunia (World Bank) atas Omnibus
Law UU Cipta Kerja (Ciptaker) lewat twitter pribadinya, Sabtu (17/10), menggambarkan
besarnya ambisi pemerintah untuk mempertahankan beleid sapu jagat tersebut.
Tidak hanya melalui media sosial, pemerintah juga menggalang dukungan dan meminimalisir
opini negatif atas UU Ciptaker lewat berbagai cara, mulai dari melobi organisasi-organisasi besar
yang menyatakan penolakan, seperti PBNU dan PP Muhammadiyah, hingga mengumpulkan para
kepala daerah dan pengusaha.
Bagi pemerintah, UU Ciptaker adalah satu-satunya jalan keluar untuk mengentaskan masalah
pengangguran dan memanfaatkan momentum bonus demografi. Karena itu, jauh hari sebelum
draf UU itu diusulkan ke DPR, pemerintah menyebutnya sebagai "hadiah" untuk mencapai
Indonesia maju.
Tapi bagi para buruh, UU Omnibus Law adalah mimpi buruk. Ia bukan hanya dinilai akan
mengebiri hak-hak pekerja atas kehidupan yang layak, tetapi juga membawa Indonesia menjadi
pasar tenaga kerja yang fleksibel yang easy hire dan easy fire.
Penolakan buruh terhadap UU Ciptaker tak muncul tiba-tiba, melainkan sejak draf UU itu
meluncur ke DPR pada Februari 2020 lalu. Mereka cukup kencang berteriak di antaranya soal
penghilangan batas maksimal karyawan kontrak atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT),
pengurangan jumlah pesangon, hingga makin fleksibelnya aturan alih daya atau outsourcing.
Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Indonesia (UI) Aloysius Uwiyono menjelaskan
beberapa hal yang jadi landasan buruh menolak keras UU Ciptaker. Terkait pengupahan, ia
mengungkapkan kerugian buruh akibat UU Ciptaker ada dua.
Pertama , karena dihapuskannya Pasal 164 yang mewajibkan perusahaan membayar pesangon
dua kali lipat jika melakukan PHK bukan atas keadaan force majeure atau mengalami kerugian
berturut-turut selama dua tahun. Hal ini yang membuat besaran pesangon yang diterima pekerja
maksimal adalah 19 kali upah.
Kedua , hilangnya jenis uang penggantian hak yang seharusnya diterima buruh, yakni
penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan yang ditetapkan 15 persen dari uang
pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.
Menurut Aloy, UU Ciptaker seharusnya tidak mengubah ketentuan pesangon bagi buruh yang
terkena PHK menjadi lebih rendah. Selain itu, uang penggantian perumahan serta pengobatan
dan perawatan juga tak bisa dihilangkan dan diubah ke dalam perjanjian kerja.
"Hukum positifnya UU 13/2003. Ketika kaidah heteronom (ketentuan yang ditetapkan oleh
pemerintah/negara) dibandingkan dengan kaidah otonom (perjanjian kerja, kontrak dan
sebagainya), kaidah heteronom harus jadi standar, maksimum atau minimum. Nah, sepanjang
itu menyangkut hak pekerja dia adalah standar minimum," ujar Aloy kepada CNNIndonesia.com
, Senin (19/10).
Artinya, jika Omnibus Law Cipta Kerja ingin mengubah ketentuan UU 13 Tahun 2003, maka
perubahan mengenai pesangon dan uang penghargaan seharusnya sama atau lebih besar.
"Tidak mungkin dalam UU Cipta kerja itu lebih rendah," imbuh dia.
289