Page 291 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 21 OKTOBER 2020
P. 291
Hal ini berpeluang membuat perusahaan menggunakan outsourcing pekerja untuk berbagai
tugas, termasuk pekerja lepas dan pekerja penuh waktu.
Aloy menerangkan dalam hukum perburuhan outsourcing dibagi menjadi dua, yakni pekerjaan
dan pekerja. Outsourcing pekerjaan diperbolehkan sangat fleksibel untuk semua jenis pekerjaan.
"Konstruksi hukumnya begini: outsourcing pekerjaan itu kan ada mid-kontraktor dan
menyerahkan pekerjaan kepada sub kontraktor, dan sub kontraktor butuh buruh untuk
mengerjakan itu," tuturnya.
Sementara, outsourcing pekerja dibatasi hanya untuk pekerjaan tertentu di luar produksi agar
memberikan kepastian terhadap upah. Sebab, dalam praktiknya penyedia jasa pekerja/buruh
memberikan gaji dibawah UMP agar ada perusahaan yang mau menyerap pekerja mereka.
Namun, dalam UU Ciptaker, outsourcing pekerjaan dianggap sebagai business to business (B2B),
sedangkan outsourcing pekerja dibuat fleksibel dan tak mengenal pembatasan.
"Kalau konstruksi hukum begini, sama dengan BP3TKI. Menyerahkan pekerjanya ke pengguna.
Pekerja dengan perusahaan outsourcing itu tak mungkin ada hubungan karena pekerjaan dan
perintah ada di perusahaan pengguna, perusahaan outsourcing hanya urusan upah," jelasnya.
Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, langkah pemerintah
melanjutkan UU Ciptaker seolah melegitimasi pelanggaran aturan ketenagakerjaan yang terjadi
di Indonesia selama pandemi. Ia mencontohkan tidak sedikit perusahaan yang tak terdampak
covid-19 ikut mem-PHK pekerjanya tanpa pesangon yang layak.
Belum lagi, urusan upah minimum provinsi yang kemungkinan besar tak dinaikkan tahun depan.
Padahal, ancaman covid-19 tahun depan diperkirakan tidak akan separah saat ini dan tak semua
sektor usaha terdampak.
"Itu kenapa kami menolak penghapusan UMK dan upah sektoral bersyarat dalam UU Ciptaker.
Upah minimum yang ada aturannya saja dilanggar. Apalagi, pemerintah melegitimasi
pelanggaran. Pasti ada yang bilang karena persentase yang tidak bisa membayar 80 persen.
Besar, tapi masa diikuti yang melanggar," tegasnya.
Sementara, Ekonom Indef Bhima Yudhistira menilai UU Ciptaker akan bertentangan dengan
prinsip-prinsip yang dianut negara maju, yakni kesejahteraan kelas pekerja.
Hal ini terutama lantaran tak ada batasan waktu maksimal Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT) yang membuat pekerja dapat dikontrak seumur hidup dan menghilangkan kesempatan
mereka untuk menempuh jenjang karir di sebuah perusahaan.
Padahal, dalam Pasal 59 UU nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan PKWT dibatasi
maksimal 3 tahun. Ketentuannya, PKWT dapat diadakan untuk paling lama dua tahun dan hanya
boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.
Ada pula Pasal 88 ayat 3 Omnibus Law Ciptaker di mana buruh yang menggunakan waktu
istirahatnya untuk bekerja tak diberikan upah. Sementara, dalam Pasal 88 ayat (3) huruf e UU
Ketenagakerjaan pekerja berhak atas upah atas jam istirahat yang ia gunakan untuk bekerja.
"Di negara-negara maju, investor sangat menjunjung fair labour practice dan decent work di
mana hak-hak buruh sangat dihargai. Bukan sebaliknya, malah menurunkan hak buruh. Berarti,
bertentangan dengan prinsip negara maju," pungkasnya.
(hrf/bir).
290