Page 208 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 15 MARET 2021
P. 208
bahkan properti serta penyertaan langsung," ujar Profesor Keuangan Investasi, IPMI
International Business School Roy Sembel dalam keterangan tertulisnya hari ini.
("Kerugian yang terjadi (yang masih belum direalisasikan atau disebut unrealized loss)
masih sejalan dengan perkembangan pasar saham Indonesia hal itu tercermin dari
pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terdampak krisis pandemi dan
resesi ekonomi," tambah dia.
Bukti menunjukkan, lanjut Roy Sembel, unrealized loss-nya naik turun sesuai dengan
naik turunnya IHSG. Pada saat IHSG di level 5.979 (31 Desember 2020) unrealized loss
mencapai Rp22,308 triliun, tapi ketika IHSG di level 6.429 (20 Januari 2021) lalu,
unrealized loss nya menurun menjadi Rp14,417 triliun atau 2.91% dari total portofolio
Rp495 triliun yang mayoritas disebabkan penurunan kinerja emiten BUMN.
Naik turun akan terjadi sesuai dengan pergerakan harga saham. "Bukan tak mungkin,
ketika IHSG di level 7.000, bukan unrealized loss, tapi bisa berbalik arah menjadi
unrealized gain. Hal ini bisa dilihat naik turunnya potensial loss itu sangat tergantung
dari pergerakan IHSG.
Ada banyak faktor yang menyebabkan naik turunnya harga saham, namun yang paling
penting sahamnya likuid dan mempunyai kapitalisasi pasar yang besar dan hal itu yang
menjadi portofolio saham BPJS-TK," tegas Roy Sembel.
Dia menambahkan, temuan itu berbeda dengan kerugian portofolio investasi pada kasus
Jiwasraya. Portofolio saham-saham Jiwasraya, termasuk golongan saham kualitas
rendah, tidak likuid dan mempunyai kaplitalisasi pasar yang kecil. Banyak orang
menyebut saham-saham "gorengan".
"Jelas hal ini berbeda, meski tampak sama. Banyak perbedaan riil antara kerugian
Jiwasraya yang sudah realized loss dengan unrealized loss seperti di BP Jamsostek. Hal
yang mendasar terjadi, seperti persyaratan pemilihan manager investasi. Di BP
Jamsostek sangat ketat, sementara di Jiwasraya longgar," katanya.
Ada perbedaan, lanjut Roy Sembel, dari sisi alokasi aset. Misalnya, porsi saham dan
reksadana di Jiwasraya lebih dari 91% (31 Desember 2019).
Sementara di BP Jamsostek pada 31 Desember 2020 lalu hanya 23,56% untuk porsi
saham dan reksadana. Dari data itu jelas terlihat bahwa strategi alokasi aset berbeda di
antara keduanya.
Kondisi makin nyata ketika menengok portofolio saham Jiwasraya dengan BP Jamsostek.
Seperti diulas sebelumnya, portofolio saham BP Jamsostek termasuk saham kualitas
bagus, likuid dan kapitalisasinya besar.
Pendek kata saham blue chip berfundamental bagus sehingga berbeda dengan portofolio
saham Jiwasraya pada umumnya.
207