Page 115 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 14 JUNI 2021
P. 115
Melalui penyebutan "Gus Iwan", Wapres Amin menitipkan harapan agar pesantren jangan hanya
menjadi pusat pendidikan dan pusat dakwah. Pesantren juga mesti menjadi pusat pemberdayaan
masyarakat dengan melahirkan san-tri-santri yang bagus, pintar mengaji, dan usahawan.
Selain gampang diingat, akronim "Gus Iwan" juga memiliki tingkat kedekatan tinggi ketika
disampaikan di komunitas pesantren yang akrab mengenal sebutan "gus" tersebut. Bahkan, kata
gus telah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai kata benda yang mengandung
arti nama julukan atau nama panggilan kepada laki-laki.
Arahan Wapres Amin agar pesantren melahirkan "Gus Iwan" tersebut tidak lepas dari upaya
besar mengatasi permasalahan ketenagakerjaan yang kompleks. Angka pengangguran di
Indonesia masih relatif tinggi, sementara daya saing atau produktivitas tenaga kerja masih
rendah.
Kondisi ini disebabkan, antara lain, ketidaksiapan untuk beradaptasi terhadap perubahan dan
disrupsi yang mengikutinya. "Untuk itu diperlukan konsep dan langkah-lang-kah perbaikan yang
cepat, tepat, dan efisien sebagai fondasi yang penting untuk bisa bersaing dengan negara lain
di era teknologi digital saat ini," ujar Wapres Amin.
Guna mewujudkan tenaga kerja yang andal, pemerintah tidak bisa bekerja sendirian. Diperlukan
keterlibatan segenap elemen, termasuk pondok pesantren yang tersebar di banyak daerah.
Merunut ke belakang, penggunaan akronim kerap digunakan dalam penyampaian pesan. Pada
debat sesi keempat calon presiden (capres) pada 30 Maret 2019, misalnya, capres nomor urut
01, Joko Widodo, menyebutkan istilah "Dilan" yang merupakan akronim dari Digital Melayani.
Bagi jutaan orang di negeri ini, terutama penggemar novel karya Pidi Baiq, akronim "Di-lan" ini
berpotensi menarik perhatian karena mengingatkan pada sosok anak muda, pacarnya Milea.
Popularitas nama Dilan di novel yang kemudian juga difilmkan itu menjadikan akronim "Dilan"
terasa akrab, sering didengar, dan terasa tak muncul tiba-tiba Bung Karno, sang proklamator
dan Presiden pertama Republik Indonesia, pernah berpidato dengan substansi jangan sekali-kali
meninggalkan sejarah. Pidato yang kemudian dikenal dengan Jas Merah. Melalui akronim Jas
Merah itu, rasa jangan sekali-kali meninggalkan sejarah terawetkan, lestari, dan lekat di ingatan
publik sampai sekarang.
Tak pelak, menanamkan pesan agar selalu teringat membutuhkan kiat tersendiri. Apalagi setiap
orang memiliki keragaman. Ada yang mudah mengingat dan ada pula yang gampang melupakan.
Demikian pula ada yang sulit mengingat dan sukar pula melupakan hal yang telanjur tersimpan
di ingatan. Hal ini seperti dituturkan Presiden ke-16 Amerika Serikat Abra-ham Lincoln yang
pernah menyampaikan, ingatannya ibarat sepotong baja; sangat sulit menggoreskan sesuatu di
atasnya dan nyaris mustahil menghapusnya jika sesuatu tersebut telah tergores di atasnya.
Di titik ini, penggunaan akronim kiranya menjadi salah satu cara menanamkan suatu ide atau
gagasan agar tersimpan dalam memori publik. Sebuah upaya yang terlihat pula dalam
penggunaan singkatan 3M dan 5M yang digencarkan pemerintah untuk mengajak masyarakat
menerapkan protokol kesehatan demi mengatasi pandemi Covid-19.
Melalui gerakan 3M, masyarakat diminta selalu memakai masker, rajin mencuci tangan dengan
sabun di air mengalir, dan menjaga jarak. Ditambah dengan pesan untuk menghindari
kerumunan dan mengurangi mobilitas, maka jadilah gerakan yang disingkat 5M.
114