Page 116 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 14 JUNI 2021
P. 116

Pesan ringkas

              Pengajar Komunikasi Politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, ketika dimintai pandangan,
              Sabtu (12/6/2021), menuturkan, tujuan penggunaan akronim dalam komunikasi politik adalah
              agar  pesan  yang  disampaikan  lebih  catchy,  lebih  menarik  untuk  didengar  dan  lebih  mudah
              diingat.  "Syarat-syaratnya,  yang  pertama,  akronim  enggak  boleh  pan-jang-panjang.  Pendek
              saja. Singkat," katanya.

              Menurut Hendri, syarat kedua akronim adalah memiliki arti yang universal. Artinya, pemahaman
              masyarakat terhadap akronim tersebut sudah cukup. "Syarat ketiga adalah mengikuti tren yang
              ada saat itu sehingga bisa cepat viral," ujarnya.

              Pengajar  Fakultas  Ilmu  Pengetahuan  Budaya  Universitas  Indonesia,  Ibnu  Wahyudi,  saat
              dihubungi,  menuturkan,  terlepas  dari  sejumlah  pihak  yang  alergi  terhadap  maraknya
              penggunaan akronim di masyarakat, pemakaian akronim tidak mungkin dilawan. Hal ini karena
              di dalam komunikasi terkadang orang memerlukan suatu bentuk ringkas untuk sebuah makna
              yang panjang.
              Akan tetapi, persoalannya, lanjut Ibnu, akronim sebagai bentuk ringkas tersebut belum tentu
              lebih  efektif  atau  lebih  diketahui  oleh  masyarakat.  Oleh  karena  itu,  diperlukan  penjelasan
              langsung  begitu  sebuah  akronim  diucapkan  agar  publik  lekas  memahaminya.  "Akronim  'Gus
              Iwan',  misalnya,  memang  begitu  diucapkan  harus  segera  dijelaskan  keterangannya  (sebagai
              bagus,  rajin  mengaji,  dan  usahawan)  agar  orang  tidak  mengiranya  sebagai  nama  orang,"
              katanya.

              Hal ini beda dengan kerata-basa, di mana sudah lebih dulu ada kata dan baru kemudian kata
              tersebut diberi kepanjangan dengan nuansa yang biasanya agak humor atau sinis. Keratabasa
              ini banyak dijumpai di Jawa. Misalnya, kathok (celana) itu dipanjangkan oleh orang Jawa sebagai
              diangkat m baka sithok (diangkat satu per satu). "Karena kalau kita pakai celana itu sekaligus,
              dua kaki langsung masuk, pasti jatuh. Ini ada logikanya," kata Ibnu.

              Di  dalam  KBBI,  keratabasa  dijelaskan  sebagai  perihal  menerangkan  arti  kata  dengan
              memperlakukannya sebagai singkatan, biasanya untuk lelucon. Misalnya, kata benci ditafsirkan
              sebagai "benar-benar cinta". Aihhhhh....

              Terkait pemakaian akronim, menurut Ibnu, hal itu merupakan suatu cara menciptakan istilah
              dengan  gabungan  potongan  huruf,  mungkin  huruf  pertama,  suku  kata,  dan  se-bagainya.
              "(Akronim)  Ini  syaratnya  harus  mampu  langsung  memberikan  pemahaman  kepada  yang
              membaca atau yang mendengar. Ini enggak gampang," katanya.

              Penciptaan akronim yang tepat atau efisien dalam menyampaikan pesan tidaklah mudah. "Ketika
              berbicara di lingkungan pesantren, penggunaan 'gus' itu masih nyam-bung, 'gus'-nya itu dapet,
              karena istilah 'gus' memang dikenal. Cuma Iwan-nya itu yang tidak memberikan makna apa-apa
              jika tidak dijelaskan kepanjangannya. Jadi, penjelasan dan sosialisasi perlu terus dilakukan," ujar
              Ibnu.

              Sebagai contoh, banyak warga saat ini mengenal bahwa Benhil di Jakarta adalah akronim dari
              kawasan  Bendungan  Hilir  di  Jakarta  Pusat.  Begitu  pula  Otista  sebagai  akronim  dari  Otto
              Iskandardinata. Namun, diperlukan waktu bertahun-ta-hun menyosialisasikan isti-lah-istilah itu.
              "Jadi, kalau mau mengenalkan akronim, seperti 'Gus Iwan', harus ada sosialisasi terus-menerus,"
              katanya.






                                                           115
   111   112   113   114   115   116   117   118   119   120   121