Page 333 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 14 JUNI 2021
P. 333

7.000 BURUH INDUSTRI ROKOK DI AMBANG PENGANGGURAN, INI PENYEBABNYA

              JAKARTA, : Industri Hasil Tembakau (IHT) mencatat sebanyak 7.000 tenaga kerja di industri
              tembakau  terancam  kehilangan  pekerjaan  per  tahunnya.  Ancaman  PHK  ini  terjadi  jika  revisi
              Peraturan  Pemerintah  (PP)  Nomor  109  Tahun  2012  tentang  Pengamanan  Bahan  Yang
              Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

              Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Budidoyo mengatakan, perkiraan
              tersebut  didasari  atas  pabrik  tembakau  yang  berpotensi  ditutup  karena  tekanan  kerugian
              keuangan.

              "Seperti yang sudah disampaikan bahwa kalau nanti terjadi revisi, maka sekarang inikan sudah
              tertekan, industri inikan sudah tertekan dengan adanya pandemi, makanya dengan revisi PP tadi,
              justru semakin menekan," ujar Budidoyo dalam konferensi pers, Rabu (9/6/2021).

              Dari data IHT, dalam kurun waktu 2015-2020 adanya penurunan produksi di level rata-rata 7,5%
              atau  kisaran  26  miliar  batang.  Dalam  hitungannya,  jika  ada  1  gram  tembakau  mengalami
              penurunan, maka ada 26.000 ton tembakau yang tidak terserap.

              "Misalnya 26 miliar batang itu dikonversi menjadi 1 gram, maka sudah ada 26.000 ton yang tidak
              terserap. Belum lagi sektor tenaga kerja. Dari hasil penelitian, jika penurunan 5%, maka ada
              potensi loss di tenaga kerja itu sekitar 7.000 orang," katanya.

              Dengan  begitu,  revisi  PP  Nomor  109  Tahun  2012,  akan  mendorong  potensi  kehilangan
              pekerjaan.  Budidoyo  menegaskan,  hal  itu  mengkhianati  amanah  peraturan  dan  perundang-
              undangan karena pemerintah seharusnya mengkonsultasikan kebijakan yang berdampak pada
              mata rantai IHT kepada para pemangku kepentingannya.

              "Itu yang kita khawatirkan. Ini dari unsur petani, belum lagi kalau produksinya turun, apakah
              iya, penurunan preferensi merokok terjadi? Karena dengan cukai yang tinggi, rokok ilegal akan
              beredar begitu banyak, begitu juga sebaliknya," tutur dia.

              Dia menilai, kebijakan pengendalian tembakau saat ini sudah mengatur berbagai poin untuk
              membatasi iklan media luar ruang, iklan televisi, tempat khusus merokok yang terpisah, dan
              larangan menjual rokok kepada ibu hamil dan anak di bawah 18 tahun.

              Selain itu, kinerja IHT pada 2020 sudah turun sebesar 9,7% akibat kenaikan cukai tinggi, dampak
              pandemi, serta regulasi yang terus menekan sehingga menimbulkan ketidakpastian usaha.
              Hingga April 2021, sektor IHT masih mengalami penurunan sebesar 6,6%. Menurut Budidoyo,
              mencuatnya desakan revisi PP 109/2012 jelas semakin memberatkan kelangsungan hidup IHT
              dan akan semakin merugikan 6 juta orang yang menggantungkan hidupnya dari sektor IHT.

              Saat ini, sektor IHT sedang berupaya pulih dari dampak pandemi dan di sisi lain dihadapkan
              pada target penerimaan kepabeanan dan cukai.

              "Wacana revisi PP 109/2012 tujuannya tidak lagi melakukan pembatasan tetapi melarang total
              keberadaan  IHT.  Ini  sangat  disayangkan.  Isu  perokok  pemula  yang  termasuk  dalam  fokus
              wacana revisi PP 109/2012 merupakan persoalan pelik, butuh sinergi kebijakan dan kontribusi
              seluruh pihak dan pemangku kepentingan, bukan hanya pengendalian di sisi hilir," tutur dia.

              kbc 10.





                                                           332
   328   329   330   331   332   333   334   335   336   337   338