Page 191 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 5 MEI 2020
P. 191
Ketiga, tidak ada sama sekali urgensi pelatihan untuk mengisi masa berkurung diri
di rumah dalam struktur urgensi nasional, dibandingkan dengan urgensi untuk
memenuhi kebutuhan sembako dan kebutuhan finansial warga. Memaksa diri
melihat pelatihan sebagai hal yang mempunyai posisi urgensi tinggi di tengah
kebutuhan lain yang mendesak adalah juga bentuk kegilaan.
Anggaran Rp 5,6 triliun lebih tepat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dengan
urgensi tinggi seperti sembako dan uang tunai bagi tambahan 3 juta orang selama 3
bulan, daripada digunakan untuk pelatihan tidak relevan dan tidak urgen yang
berujung pada dampak memperkaya 10 vendor pelatihan.
Keempat, pelatihan kerja mempunyai rujukan regulasi, prinsip-prinsip dan sistem
pengelolaannya (sistem pelatihan kerja nasional) yang ditujukan untuk
mengendalikan agar pelatihan tidak bersifat instan, dilakukan dengan basis struktur
kompetensi yang jelas (mencakup dimensi pengetahuan, keterampilan, dan sikap),
dan dengan keterhubungan yang jelas dengan kebutuhan dunia kerja.
Insentif dan subsidi yang diberikan oleh Pemerintah dengan menggunakan
anggaran Negara sebaiknya tunduk pada sistem yang dibangun oleh Pemerintah
sendiri, yakni ketika seseorang diakui kompetensinya melalui sertifikasi oleh
lembaga yang berwenang.
Pelatihan dan mekanisme kelulusan yang abal-abal, dan dilakukan oleh lembaga
pelatihan sendiri, sebagaimana yang ada dalam skema pelatihan kartu pra kerja,
tidak sejalan dengan prinsip sistem pelatihan kerja nasional, dan tidak pantas
mendapat insentif dan subsidi Pemerintah.
Sekalipun praktek-praktek dalam sistem pelatihan kerja nasional aktual juga
berkemungkinan banyak abal-abalnya, skema pelatihan dalam kartu pra kerja tidak
perlu menambah fakta keabal-abalan yang sudah ada.
Kelima, di dalam sistem pelatihan kerja nasional aktual, banyak lembaga pelatihan
kerja aktual yang terakreditasi dan selama ini berperan aktif dalam kerja pelatihan,
baik yang terdaftar di Kementerian Tenaga Kerja maupun yang terdaftar di
Kementerian Pendidikan melalui pendidikan luar sekolahnya.
Lembaga-lembaga pelatihan kerja tersebut, dengan program-programnya,
menjawab kebutuhan ketrampilan dan kompetensi di lapangan, baik kebutuhan
dunia kerja formal maupun kebutuhan dunia kerja informal.
Oleh karena itu, penghargaan yang hanya diberikan kepada lembaga pelatihan kerja
tertentu dalam skema pelatihan kartu pra kerja, merupakan kebijakan yang
diskriminatif, apalagi program-program pelatihan tersebut mempunyai dasar urgensi
dan prioritas yang lemah dalam kaitan dengan kebutuhan nasional.
Keenam, selain diskriminasi koruptif dalam kaitan dengan penentuan semena-mena
lembaga pelatihan dan program-program pelatihan, penentuan harga pokok
pelatihan juga memperlihatkan praktik koruptif yang terang benderang.
Page 190 of 203.