Page 44 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 18 AGUSTUS 2020
P. 44

Senada dengan Johnny, Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman
              Bakri menilai, omnibus law dapat menyelesaikan masalah industri alas kaki nasional, terutama
              yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Sebab, alas kaki adalah industri padat karya.

              Firman menyatakan, industri alas kaki lebih berorientasi ekspor ketimbang domestik. Dengan
              demikian,  industri  ini  harus  kompetitif  agar  bisa  bersaing  di  level  global.  Salah  satu  yang
              menentukan daya saing adalah biaya sumber daya manusia (SDM).

              Dalam beberapa tahun terakhir, dia menerangkan, terjadi fenomena relokasi dari daerah dengan
              UMK tinggi ke kompetitif, seperti dari Banten dan Jabodetabek ke Jawa Tengah. Di Jawa Timur,
              beberapa perusahaan alas kaki juga merelokasi pabrik, kendati masih di provinsi yang sama.
              Bahkan, beberapa perusahaan berancang-ancang hengkang ke Vietnam.

              Salah  satu  hal  yang  membuat  upah  buruh  menjadi  tak  kompetitif, kata  dia,  adalah  besaran
              kenaikan rata-rata yang mencapai 8% per tahun. Ini lantaran formula penentuan kenaikan upah
              adalah  inflasi  plus  pertumbuhan  ekonomi.  Dengan  demikian,  kenaikan  upah  menjadi  tak
              fleksibel.

              Dia  mencontohkan,  saat  pandemi  Covid-19  seperti  saat  ini,  pengusaha  alas  kaki  harus  siap
              menerima kenaikan upah 2% untuk 2021. Sebab, kuartal I tahun ini, ekonomi masih tumbuh
              2,97% dan bisa ditutup di level 1% sampai akhir tahun. Jika ditambah inflasi 0,11%, kenaikan
              upah 2021 bisa 2%.

              "Ini jelas memberatkan di tengah pandemi Covid-19. Jadi, PP 78/2015 membuat penentuan upah
              tak fleksibel. Ini mesti diubah," tegas dia.

              Dia juga menyoroti kebijakan upah minimum sektoral provinsi (UMSP) di beberapa wilayah, yang
              menambah beban pengusaha. Sebagai ilustasi, dengan UMSP, tambahan upah bisa Rp 130.000
              per bulan per satu pekerja. Adapun satu pabrik alas kaki bisa memiliki 40.000 pekerja.

              "Dari sini silakan hitung sendiri tambahan kenaikan biayanya. Ini jelas menggerus daya saing
              perusahaan alas kaki," tegas dia.

              Selain  itu,  dia  menuturkan,  produktivitas  pekerja  di  Indonesia  masih  rendah.  Sebagai
              perbandingan, jam kerja pekerja alas kaki di Vietnam mencapai 48 jam per pekan, sedangkan
              Indonesia hanya 40 jam per pekan.

              Dia  meyakini,  omnibus  law  bisa  mengatasi  masalah  ketenagakerjaan  di  sektor  ini.  Alhasil,
              investasi  di  sektor  alas kaki bisa  berkembang. Saat  ini, kebanyakan  perusahaan  alas  kaki  di
              Indonesia memproduksi produk merek dunia, seperti Adidas, dengan struktur usaha joint venture
              dan penamanan modal asing.

              Jika perusahaan yang sudah eksis ini bisa selamat, kata dia, mereka akan berekspansi. Ini akan
              memberikan citra baik industri alas kaki nasional di mata dunia. Alhasil, investasi dari pemain
              baru berpeluang masuk.

              Dia  menilai,  pandemi  Covid-19  merupakan  momentum  untuk  membenahi  industri  alas  kaki
              nasional. Sebab, para pemain dunia mulai merelokasi pabrik keluar Tiongkok. Jika Indonesia bisa
              membereskan  PR  di  industri  ini,  Indonesia  bisa  menjadi  tujuan  utama  relokasi  pabrik  dari
              Trongkok.

              "Saya kira draf omnibus law sudah ok, tinggal menyosialisasikan UU ini agar tidak dilihat secara
              parsial, melainkan secara menyeluruh," kata dia. (ant/jn)

              Perjalanan RUU Ciptaker



                                                           43
   39   40   41   42   43   44   45   46   47   48   49