Page 219 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 5 NOVEMBER 2020
P. 219

"Kami dari Apindo menyesalkan dalam arti tidak diperhatikan hal-hal yang sebetulnya mendasari
              itu. Ini yang paling dasar, dasar acuan untuk menentukan angka, jadi ini yang tentunya menjadi
              kontradiktif dengan kondisi yang ada," kata Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani.

              Sementara  itu,  Ekonom  CORE  Indonesia  Yusuf  Rendy  Manilet  menilai  perbedaan  keputusan
              daerah dalam penetapan UMP sejatinya sah-sah saja.

              Sebab,  daerah  memang  memiliki  pertimbangan  dinamika  ekonomi  di  wilayah  mereka  ketika
              pandemi merebak. Di sisi lain, selama ini besaran UMP juga sudah berbeda-beda di masing-
              masing provinsi di Indonesia.

              Namun, Yusuf mengatakan akar masalah UMP 2021 sebenarnya bukan berasal dari keputusan
              daerah yang berbeda-beda. Apalagi, DKI Jakarta yang menerapkan kenaikan secara asimetris
              berdasarkan terdampak atau tidaknya perusahaan tersebut.

              Masalah katanya, justru berasal dari pemerintah pusat. Ia mengatakan pertumbuhan ekonomi
              Indonesia pada 2020 memang akan minus.

              Padahal, itu digunakan sebagai penentu perhitungan upah tahun depan. Di tengah kondisi itu,
              pemerintah berkeyakinan ekonomi Tanah Air akan melesat tinggi pada 2021.

              Pemerintah pun sudah membidik angka pertumbuhan positif 5 persen pada tahun depan.

              "UMP beda itu wajar, tapi yang dipertanyakan, kenapa pemerintah pusat dari awal tetapkan UMP
              tetap  padahal  pertumbuhan  ekonomi  (2021)  diproyeksi  meningkat?  Seharusnya  beriringan
              karena  ada  keyakinan  perusahaan  bisa  bangkit  pada  tahun  depan,"  tutur  Yusuf  kepada
              CNNIndonesia.com, Selasa (3/11).

              Yusuf  mengatakan  bila  ingin  lebih  adil,  menurutnya,  penentuan  UMP  2021  ditetapkan
              berdasarkan sektor yang terdampak atau tidak, seperti kebijakan asimetris yang diberlakukan
              DKI  Jakarta.  Menurutnya,  memang  sulit  menyamaratakan  ketentuan  upah  di  tengah  naik
              turunnya industri akibat pandemi.

              Ia  memberi  contoh  di  bidang  industri  manufaktur.  Memang,  di  satu  sisi  industri  manufaktur
              farmasi meningkat permintaan produknya selama corona.

              Tapi, itu semua tidak terjadi pada industri manufaktur sektor otomotif yang justru mengalami
              penurunan permintaan karena daya beli masyarakat sedang tertekan corona.

              Begitu juga dengan sektor jasa. Di saat pandemi, jasa transportasi loyo.

              Tapi di sisi lain, jasa informasi dan komunikasi tumbuh pesat karena kebutuhan akses digital
              meningkat.

              Ia mengakui UMP yang asimetris nantinya akan mempengaruhi besaran kontribusi ekonomi dari
              masing-masing  sektor.  Saat  ini  memang  kontribusinya  juga  bervariasi.  Tapi  nanti  bisa  lebih
              signifikan perubahan kontribusinya.

              Di sisi lain, kenaikan upah yang asimetris sebenarnya tetap berpotensi memunculkan gelombang
              PHK karena perusahaan yang tidak mampu menaikkan gaji pekerja atau buruhnya, tentu akan
              lebih memilih untuk melakukan efisiensi karyawan. Hanya saja, dampak UMP dan PHK tidak
              selalu berbanding lurus.

              Sebab,  ada  pertimbangan  dinamika  ekonomi  tahun  depan.  "Dampak  UMP  berbeda-beda
              terhadap PHK tidak secara langsung. Kalau ekonomi naik, masih bisa tidak terjadi PHK," jelasnya.




                                                           218
   214   215   216   217   218   219   220   221   222   223   224