Page 41 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 8 SEPTEMBER 2020
P. 41
USAHA RITEL MAKIN TERPURUK
Penurunan belanja masyarakat memukul usaha ritel. Sebagian peritel mulai menghentikan
kontrak sewa dan menutup gerai guna menekan kerugian.
Pelaku usaha ritel makin terimpit situasi. Penurunan belanja di tengah pandemi Covid-19,
terutama dipicu oleh melemahnya daya beli masyarakat kelas bawah serta kecenderungan
segmen menengah atas menahan belanja, semakin menekan pendapatan peritel dan memaksa
sebagian di antaranya menutup gerai.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, konsumsi rumah tangga yang masih mendominasi struktur
produk domestik bruto (PD B) nasional tumbuh negatif 5,51 persen pada triwulan II-2020.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey, rata-rata
pendapatan peritel saat ini lebih rendah dibandingkan dengan biaya operasionalnya.
Penurunan pendapatan dipicu tingkat kunjungan dan belanja masyarakat yang terus berkurang.
Menurut Roy, masyarakat cenderung hanya belanja kebutuhan pokok. Selain itu, pembelian yang
tidak direncanakan (impulse buying) semakin rendah. Padahal, dalam kondisi normal, pembelian
yang tidak direncanakan kerap lebih besar ketimbang belanja yang direncanakan. "Pengeluaran
mulai memakan biaya modal yang seharusnya diperuntukkan bagi ekspansi," ujarnya, Senin
(7/9/2020).
Roy menambahkan, ritel merupakan sektor strategis yang perlu diperhatikan dan dilindungi
sebagai jembatan antara produsen dan konsumen. Pihaknya menyayangkan masih kurangnya
perhatian terhadap sektor perdagangan ritel yang dituntut terus buka guna memenuhi
kebutuhan sehari-hari masyarakat.
Menurut data Aprindo, jumlah unit usaha ritel mencapai 35.000 toko, tersebar di 34 provinsi
dengan jumlah pekerja mencapai 4 juta orang. Mulai Juli 2020, pemerintah menggulirkan
stimulus kredit korporasi senilai Rp 100 triliun melalui 15 bank. Namun, penyaluran kredit
korporasi dinilai baru menyentuh beberapa sektor, seperti logistik dan transportasi, tetapi belum
menyentuh perdagangan ritel.
Kredit korporasi diperlukan usaha ritel untuk mengurangi beban kredit komersial dengan bunga
kredit yang mencapai 12 persen. "Kalau negara tidak hadir, tidak ada bantuan kredit korporasi,
ya, ritel akan tumbang," kata Roy.
Hal senada dikemukakan Dewan Penasihat Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan
Indonesia (Hippin-do) Tutum Rahanta. Kondisi peritel semakin buruk daripada bulan-bulan
sebelumnya. Penurunan belanja masyarakat sangat berdampak untuk hampir seluruh sektor
ritel.
Tutup gerai
Sebagian peritel yang tidak bisa membayar biaya sewa toko dan upah karyawan terpaksa
menutup gerai atau memutus kontrak dengan pengelola pusat perbelanjaan. Kondisi ini mulai
banyak terjadi di pusat belanja kelas atas (grade A'). Peritel memilih tutup gerai untuk menekan
kerugian dan menunggu kondisi ekonomi membaik untuk kembali beroperasi.
Penutupan terutama terja di di gerai-gerai non-makanan. Di sisi lain, usaha ritel makanan dan
minuman juga mulai ter-imbas oleh penurunan daya beli. Jumlah gerai banyak, tetapi
pengunjung menurun.
Insentif yang digulirkan pemerintah untuk pekerja dinilai lebih menjaga daya tahan, tetapi
belum mampu memulihkan daya beli. Sementara itu, usaha ritel semakin kesulitan modal karena
40