Page 20 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 16 FEBRUARI 2021
P. 20
Kompensasi
Alasan dan kompensasai PHK merupakan hal sensitif bagi pekerja dan serikat pekerja/serikat
buruh (SP/ SB). Selama ini pemerintah berusaha mengatur ulang alasan dan kompensasi PHK di
UU Ketenagakerjaan karena kedua hal ini diyakini menghambat masuknya investasi.
Bila di UU Ketenagakerjaan memuat lima belas jenis alasan PHK berserta kompensasinya, UU
Cipta Kerja menambah alasan PHK dan kompenasi PHK diatur di peraturan pemerintah (PP).
Isi PP ini pun rentan direvisi kembali oleh pemerintah di kemudian hari, yang nilainya berpotensi
menurun. Seharusnya, kompensasi PHK diatur di UU dan menjadi ranah DPR, seperti di UU
Ketenagakerjaan.
Dalam RPP ini ada penambahan alasan PHK dan terjadi penurunan kompensasi PHK untuk semua
jenis PHK. Alasan PHK baru ada di Pasal 45 yang mengizinkan pemberi kerja mem-PHK pekerja
dengan alasan perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang, baik
karena mengalami kerugian atau tidak mengalami kerugian. Alasan PHK ini tidak ada di UU
Ketenagakerjaan, dan alasan ini menambah ketidakpastian pekerja.
Menurunnya nilai kompensasi PHK yang disajikan dalam RPP ini sudah bisa diperkirakan,
mengingat kehadiran klaster ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja memang ditujukan untuk
menurunkan nilai kompensasi PHK Penurunan kompensasi PHK sebagian besar turun setengah
dari yang diatur di UU Ketenagakerjaan, seperti PHK karena alasan efisiensi mendapat 1 kali
pesangon, yang sebelumnya 2 kali pesangon
Penurunan kompensasi PHK ini lebih diturunkan lagi oleh ketentuan Pasal 57 yang
memperhitungkan kompensasi PHK untuk seluruh alasan PHK dengan manfaat pensiun. Di UU
Ketenagakerjaan, ketentuan ini hanya untuk pekerja yang pensiun.
Sementara, alasan PHK lainnya tidak memperhitungkan manfaat pensiun. Manfaat pensiun tidak
bisa diterima ketika pekerja mengalami PHK, hanya pada saat memasuki usia pensiun.
Memberatkan
Penentuan kompensasi PHK di RPP ini tidak didasari pada kajian akademik dengan
mempertimbangkan aspek filosofis, sosiologis, dan yuridis. Seharusnya pemerintah
mempertimbangkan kompensasi PHK secara berimbang antara kepentingan investor dan
kesejahteraan pekerja. Kompensasi PHK akan dimanfaatkan guna mempertahankan daya beli
pekerja, yang tentunya akan mendukung konsumsi masyarakat untuk pertumbuhan ekonomi.
Kompensasi PHK ini pun digunakan sebagai modal kerja berwiraswasta yang nantinya bisa
membuka lapangan kerja.
Tentunya hal-hal ini memberatkan pekerja yang mengalami PHK. Untuk meringankan pekerja,
ada beberapa upaya yang harus dilakukan pemerintah. Pertama, permudah pekerja yang ter-
PHK mendapat Jaminan Kehilangan Pekerjaan sehingga bisa menjadi "pengganti" penurunan
kompensasi PHK, dan pekerja dapat meningkatkan skill serta mendapat informasi pasar kerja.
Kedua, terkait ketentuan 15% di Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan yang dihapus (untuk
kesehatan dan perumahan), saya mendorong pemerintah untuk mempermudah pekerja yang
ter-PHK mendapat pelayanan JKN, sesuai UU SJSN dan Perpres Nomor 82 Tahun 2018.
Ketentuannya sudah ada tetapi sulit diperoleh pekerja dan keluarganya. Permenaker Nomor 35
Tahun 2016 tentang manfaat layanan tambahan program JHT untuk pekerja mendapatkan
pinjaman rumah, bisa dipermudah juga sehingga lebih banyak pekerja yang memiliki rumah saat
masih bekerja.
19

