Page 99 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 2 NOVEMBER 2020
P. 99
Permasalahannya, pada contoh UU Pemilu di atas telah diatur suatu narasi utuh dan materi
muatan yang lingkupnya sama, yaitu pemilu.
Sementara RUU Cipta Kerja yang berisi 15 bab dan mengubah sebagian ketentuan dari 78 UU di
batang tubuhnya lebih condong menjadi "kompilasi revisi" dari puluhan UU yang sebelumnya
dinilai saling tum-pang-tindih dan memperpanjang rantai birokrasi dalam mengurus perizinan
berusaha.
Revisi tersebut dilakukan dengan cara mencabut, mengubah atau menambah suatu ketentuan
UU, misalnya dalam Bab IV Ketenagakerjaan yang mengubah ketentuan Pasal 185 pada Bab
Ketentuan Pidana dalam UU Ketenagakerjaan dengan menambahkan sanksi pidana atas
pelanggaran dari Pasal 156 Ayat 1 UU Ketenagakerjaan yang berisi kewajiban pengusaha untuk
membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak dalam
hal terjadinya PHK sebagai suatu tindak pidana dan tergolong sebagai kejahatan (delik), dengan
sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun, dan/atau denda paling
sedikit 100 juta dan paling banyak 400 juta rupiah.
Perselisihan prayudisial
Dalam hukum pidana, kebijakan atau politik hukum yang menetapkan suatu perbuatan yang
sebelumnya bukan merupakan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana dalam proses legislasi
pada suatu UU atau peraturan daerah (perda), dikenal dengan istilah kriminalisasi.
Kriminalisasi atas perbuatan tidak membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja,
dan uang penggantian hak dalam hal terjadinya PHK C'delik pesangon") yang sebelumnya tidak
diatur di UU Ketenagakerjaan ini dapat dikategorikan sebagai delik omisi (omissionis), yaitu delik
tak melakukan suatu perbuatan yang diwajibkan oleh suatu UU. Selain itu, dalam pembagian
hukum pidana, delik pesangon dikategorikan sebagai hukum pidana khusus yang ditempatkan
dalam suatu UU nonpidana di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang bersifat
administrasi, tetapi dapat memuat sanksi pidana, sebagai suatu ketentuan yang bersifat khusus
(lex specialis derogat legi ge-nerali).
Namun, persoalannya bukan semata pada soal dikriminalisa-sinya delik pesangon mengingat
adanya anggapan dari sebagian kalangan hal ini dapat memberikan perlindungan hukum bagi
pekerja/buruh untuk memperoleh haknya setelah PHK terjadi. Alasannya, dalam suatu hubungan
industrial, posisi bargaining antara pengusaha dan pekerja/buruh dianggap bisa berada dalam
posisi yang kurang seimbang.
Sebab, di sisi lain, ternyata masih ada mekanisme lainnya dalam penyelesaian perselisihan PHK
melalui pengadilan hubungan industrial (PHI), yaitu dalam hal tidak adanya kesesuaian pendapat
mengenai PHK yang dilakukan oleh salah satu pihak sebagaimana dimaksud dalam UU No 2/2004
tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Penulis memprediksi kemungkinan sulitnya para pihak menentukan kapan waktu terjadinya delik
pesangon (tempus delicti), dan juga potensi sengketa kompetensi absolut dalam mengadili,
antara pengadilan umum (pidana) dan PHI sebagai pengadilan khusus. Sengketa itu terjadi
karena persoalan pembayaran pesangon ataupun penghargaan masa kerja dan penggantian hak
masih memiliki mekanisme hukum lainnya berupa perundingan tripartit (Mediasi Dinas Tenaga
Kerja) dan gugatan PHI sehingga dapat teijadi perselisihan prayudisial (Pasal 81 KUHP).
Memaknai delik pesangon
Kriminalisasi delik pesangon ini tentunya merupakan wewenang penuh dari pembuat UU
Gegislator). Hal ini sejalan dengan pandangan salah satu pakar hukum pidana terkemuka di
Indonesia, Moeljatno, yang menyatakan bahwa ada atau tidak adanya perbuatan pidana
98