Page 154 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 13 OKTOBER 2020
P. 154
rantai birokrasi, kini sangat dirugikan karena cahaya UU Cipta Kerja yang menyorot terang.
Intinya, potensi korupsi dan area abu-abu kini tertutup rapat.
Pembaharuan dan terobosan besar yang direncanakan pemerintah, merupakan agenda besar
menuju Indonesia maju. Karenanya, peran aktif dan dukungan masyarakat sangat diperlukan
guna mewujudnyatakan harapan itu. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Pemerintah
membutuhkan dukungan masyarakat secara aktif, dan tentu saja Presiden Jokowi tidak bisa
bekerja sendiri. Itu sebab rakyat Indonesia membayar seluruh kebutuhan hidup para pembantu
presiden untuk mendukung kepala negara dalam mensosialisasikan (difusi) dan
mengimplementasikan kebijakan pemerintah. Namun, yang terlihat justru kurangnya
pemahaman publik terhadap agenda pembangunan lewat UU Cipta Kerja.
Apakah menjadi tugas presiden untuk mengomunikasikan kebijakan pemerintah kepada
masyarakat? Apakah para pembantu presiden tidak mampu mengomunikasikan maksud dan
tujuan UU Cipta Kerja itu kepada masyarakat secara edukatif? Mengapa gelombang penolakan
begitu kuat dilontarkan publik terhadap kehadiran UU itu? Apa sebenarnya yang terjadi dalam
komunikasi pemerintah? Perlu diingat bahwa, ruang publik dipahami sebagai domain komunikasi
publik, dan komunikasi publik didefinisikan sebagai proses komunikasi yang berorientasi pada
pembentukan keputusan kolektif tentang hal-hal yang baik (Hanska, 2012). Komunikasi publik
Mantan Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo, Rosarita Niken Widiastuti mengakui
bahwa di antara pemerintah dan publik terjadi problem komunikasi, yang menghasilkan persepsi
positif maupun negatif publik. Pilar demokrasi melibatkan peran eksekutif, legislatif, yudikatif,
dan media massa, dimana komunikasi menjadi pemersatu seluruh pilar. Artinya, tanpa
komunikasi publik yang proporsional, sulit mengharapkan tercapainya target pembangunan.
Presiden Jokowi bahkan telah memberikan 8 arahan kepada kementerian/lembaga (K/L) terkait
komunikasi publik demi kepentingan rakyat. Pertama, informasikan apa yang akan, sedang, dan
telah dikerjakan pemerintah. Kedua, informasikan secepat-cepatnya. Ketiga, jangan menunggu
ditanya. Keempat, rakyat perlu informasi. Kelima, lakukan konsolidasi dan koordinasi agar
tersambung. Keenam, negara jangan kalah sama pengamat. Ketujuh, kerjakan tugas jangan
dengan cara lama/pola lama. Kedelapan, pemerintah inginkan kepercayaan masyarakat.
Arahan ini diperkuat oleh Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9/2015 tentang Pengelolaan
Komunikasi Publik, yang menyebutkan tujuan komunikasi publik untuk menyerap aspirasi publik,
dan mempercepat penyampaian informasi tentang kebijakan dan program pemerintah.
Karenanya, penyampaian informasi kepada masyarakat harus dilakukan secara tepat, cepat,
objektif, berkualitas baik, berwawasan nasional, serta mudah dimengerti terkait kebijakan dan
program pemerintah, melalui berbagai saluran komunikasi. Namun aksi demonstrasi masyarakat
yang terjadi akhir-akhir ini, menunjukkan tidak berdampaknya arahan presiden. Masyarakat
semakin mudah menaruh kecurigaan atas kebijakan-kebijakan pemerintah. Dengan kata lain,
arahan presiden tidak efektif di lapangan.
Fokus capaian Maximillian T Hanska-Ahy (Hanska-Ahy, 2012) mengorelasikan komunikasi publik
dengan upaya pemerintah mendapatkan dukungan publik bagi setiap keputusan melalui diskusi,
untuk memperoleh keputusan yang sah dari suatu kebijakan. Hal senada juga dikatakan
Habermas (Edgar, 2006) yang mengingatkan agar setiap pihak mengedepankan komunikasi dan
diskusi rasional dalam pengambilan keputusan.
Penjelasan Presiden Jokowi di atas cukup berhasil menenangkan publik, terutama kalangan yang
membutuhkan klarifikasi pemerintah tentang substansi omnibus law UU Cipta Kerja. Paling tidak
terlihat dari meredanya gelombang aksi demonstrasi mahasiswa dan buruh pascapenjelasan
tersebut. Namun sangat disayangkan, karena harus presiden yang langsung turun tangan
memberikan klarifikasi. Padahal tugas itu dapat dilakukan oleh para menteri kabinet sebagai
pembantu presiden.
153