Page 155 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 13 OKTOBER 2020
P. 155
Dalam hal ini, paling tidak ada 3 hal menarik yang menjadi kemungkinan penyebab terjadi aksi
demonstrasi mahasiswa dan buruh menolak UU Cipta Kerja, terkait komunikasi publik; pertama,
menteri terkait tidak memiliki kapasitas untuk mensosialisasikan, menjelaskan dan mengedukasi
publik terkait omnibus law UU Cipta Kerja. Akibatnya, terjadi pembiaran publik dalam memaknai
maksud dan tujuan pemerintah menerbitkan UU itu. Padahal, pada beberapa kesempatan
menteri-menteri terkait kerap berbicara di media dan asosiasi buruh serta pengusaha dalam
konteks tripartit, namun tidak mencapai titik temu yang berujung pada aksi demo.
Kedua, pemerintah ingin memberi ruang bagi presiden untuk menjelaskan secara langsung
kepada rakyat Indonesia betapa penting dan strategisnya UU itu. Dengan demikian, presiden
dinilai semakin dekat dengan masyarakat dan memahami kegelisahan masyarakat. Hanya
melalui penjelasan dan penegasan presiden, masyarakat dapat berhenti melanjutkan aksi demo
menentang UU itu. Jika ini benar, sesungguhnya seberapa penting peranan pembantu presiden
dalam menjalankan komunikasi publik kepada rakyat Indonesia? Khususnya jika ditinjau
berdasarkan Inpres 9/2015.
Ketiga, ada kelompok tertentu yang berkepentingan dengan penolakan UU Cipta Kerja itu untuk
mempertahankan kenyamanan yang selama ini diperoleh, atau mencoba memanfaatkan
momentum guna mencapai targetnya. Kelompok ini mencoba bermain di air keruh, yang
dampaknya kerugian pada masyarakat dan negara. Solusi konkrit Bila argumentasi ini diteruskan,
masih bisa dipikirkan beberapa kemungkinan lainnya penyebab aksi demo menentang UU itu.
Namun narasi pemikiran ini harus mengerucut pada solusi konkrit yang mungkin dapat menjadi
pertimbangan semua pihak terkait; pertama, setiap pihak berupaya aktif dalam setiap
pembelajaran kebijakan yang diterbitkan pemerintah. Pemerintah -termasuk parlemen sebagai
wakil rakyat- menjalankan fungsi dan perannya mengedukasi publik melalui narasi-narasi
edukatif, sementara publik belajar menghormati sosialisasi informasi yang disampaikan
pemerintah sehingga tercipta sinergi optimal sebagai energi aktif pembangunan.
Kedua, setiap pihak belajar menahan diri dalam berkomentar terhadap pihak lain. Pemerintah
dan masyarakat hendaknya tidak lagi melontarkan narasi-narasi provokatif yang dapat memicu
timbulnya perdebatan sia-sia serta berpotensi menciptakan penolakan satu sama lain. Sebagai
sesama ciptaan Tuhan yang derajatnya di atas ciptaan lain, manusia berperan untuk
mewujudkan rasa saling hormat, saling mengasihi dan saling membangun satu sama lain,
sehingga upaya saling menghargai bukan hal sulit.
Ketiga, tidak semua manusia memiliki kemampuan yang sama, meski kembar sekalipun.
Karenanya, dalam proses edukasi yang disampaikan pemerintah perlu mengedepankan sikap
sabar dan mengasihi. Dengan mengasihi, maka seseorang akan mampu bersikap sabar terhadap
pihak yang dikasihinya. Seorang ibu yang mengasihi anaknya, akan sabar mendidik hingga
anaknya memahami maksud didikan sang ibu. Melalui komunikasi publik yang tepat, pemerintah
dapat membuktikan bahwa karya pelayanannya bagi negeri didasarkan pada kasih untuk
membangun seluruh masyarakat.
Keempat, setiap pihak berupaya meningkatkan literasi terkait program pembangunan
pemerintah, sehingga berimplikasi pada peningkatan partisipasi publik. Pembangunan bangsa
ditujukan untuk seluruh masyarakat, karenanya peran aktif semua pihak wajib dibutuhkan. Saat
menjadi wali kota Solo, Jokowi pernah mengungkapkan slogannya dalam mengatasi beragam
permasalahan, yaitu 'segala sesuatu bisa diselesaikan di meja makan.' Akan menarik bagi publik,
jika seandainya pemahaman yang sama juga diterapkan dalam upaya pemerintah melakukan
difusi bagi kebijakan-kebijakannya. Mengingat kultur mayoritas masyarakat Indonesia dengan
semangat kerelaan menghormati pemimpinnya, apalagi pemimpin yang memahami kebutuhan
dasar masyarakatnya. Semoga.
Judul Gubernur Sulsel: Suarakan Keadilan dengan Damai
154