Page 31 - Buku Pembelajaran Vokasi di Perguruan Tinggi
P. 31
Sebagai pengikut pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa
tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan
nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran
metafisis yang kurang praktis, tidak ada faedahnya. Dewey lebih
suka menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme.
Pengalaman adalah salah satu kunci dalam filsafat
instrumentalisme. Oleh karena itu filsafat harus berpijak pada
pengalaman dan mengolahnya secara aktif-kritis. Dengan
demikian, filsafat akan dapat menyusun sistem norma-norma dan
nilai-nilai.
Instrumentalisme ialah suatu usaha untuk menyusun suatu teori
yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-
pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang
bermacam-macam itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana
pikiran-pikiran itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana
pikiran-pikiran itu berfungsi dala penemuan-penemuan yang
berdasarkan pengalaman yang mengenai konsekuensi-
konsekuensi di masa depan. Menurut Dewey, kita ini hidup dalam
dunia yang belum selesai penciptaannya. Sikap Dewey dapat
dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meneliti tiga aspek dari
yang kita namakan instrumentalisme. Pertama, kata
“temporalisme” yang berarti bahwa ada gerak dan kemajuan nyata
dalam waktu. Kedua, kata “futurisme”, mendorong kita untuk
melihat hari esok dan tidak pada hari kemarin. Ketiga, kata
“milionarisme”, berarti bahwa dunia dapat diubah lebih baik dengan
tenaga kita.
Kekeliruan Pragmatisme dapat dibuktikan dalam tiga tataran
pemikiran, yaitu:
1. Segi landasan ideologi Pragmatisme
Pragmatisme dilandaskan pada pemikiran dasar (Aqidah)
pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Hal ini nampak
dari perkembangan historis kemunculan pragmatisme, yang
merupakan perkembangan lebih lanjut dari empirisme. Dengan
20

