Page 46 - E-Modul Kapita Selekta PPKn SD
P. 46
BAB IX
Topik 8. Pendidikan Karakter
1. Sub Capaian Pembelajaran MK
Setelah mempelajari topik ini mahasiswa mampu:
a. Menemukan potret karakter bangsa Indonesia
b. Menemukan pendidikan karakter sebuah solusi
2. Uraian Materi
a. Potret Karakter Bangsa Indonesia
Bangsa Indonesia saat ini dihadapkan pada krisis karakter bersifat
struktural yang cukup memprihatikan. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya
ketidak adilan serta kebohongan-kebohongan yang dilakukan oleh masyarakat
Indonesia, bahkan di tingkat yang lebih tinggi (Hasbullah, 2006:17).
Lumpuhnya nilai-nilai keadaban masyarakat yang sulit menemukan kehendak
dan kebajikan bersama merupakan mimpi buruk bagi perkembangan bangsa ini.
Dengan menunjuk masyarakat perkotaan terutama pada kota-kota besar,
Clifford Geertz menggambarkannya telah mendekati karakter hollow city, suatu
ruang hampa tanpa nilai, tanpa visi, tanpa hati. Kehidupan masyarakat
perkotaan belakangan ini mulai terjerumus, dimana persahabatan madani sejati
sudah tergerus. Setiap warga berlomba mengkhianati negara dan sesama,
keimanan dan keagamaan disalahgunakan, rasa saling percaya pudar, hukum
atau institusi juga nampak kurang ampuh menjaga ketertiban dan kedamaian,
kerja keras dan integritas dimusuhi. Intinya, kebajikan etis telah tergerus
digantikan kekerasan dan ketamakan. Masyarakat telah kehilangan karakter,
yang ujung-ujungnya menuding pendidikan yang tidak berdaya. Dunia
pendidikan dianggap tidak mampu membentuk manusia berkarakter. Praktek
pendidikan di Indonesia dinilai belum mampu membangun kecerdasan secara
seimbang. Sistem pendidikan yang ada sekarang ini lebih banyak menekankan
pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan kurang memperhatikan
pengembangan otak kanan (afektif, empati, rasa).
Lebih jauh lagi, mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan
karakter-pun (seperti budi pekerti dan agama) ternyata pada prakteknya lebih
menekankan pada aspek otak kiri (hafalan atau hanya sekedar "tahu"). Dengan
kondisi seperti tersebut, tidak mengherankan jika demoralisasi merambah ke
dunia pendidikan yang tidak pernah memberikan mainstream untuk berperilaku
jujur, karena proses pembelajaran cenderung mengajarkan pendidikan moral
dan budi pekerti sebatas teks dan kurang dipersiapkan pada siswa untuk
menyikapi dan menghadapi kehidupan yang kontradiktif. Proses pendidikan
selama ini lebih berorientasi kepada hasil yang ditandai dengan nilai ujian
seakan harga mati, dan selalu tidak berbanding lurus dengan pengembangan
kapasitas emosi siswa. Akibatnya, anak-anak memiliki bias pikir dan bias rasa
yang tidak seimbang. Proses pendidikan yang tidak seimbang antara pikir dan
rasa inilah salah satu ujung petaka kemanusiaan di Indonesia. Adagium tradisi
dan budaya yang kerap menyebut masyarakat Indonesia hidup hormat
menghormati seakan pupus oleh begitu banyaknya penyimpangan perilaku
tidak berkeadaban. Para pemikir dan intelegensia Indonesia sangat prihatin
dengan perkembangan perilaku manusia Indonesia (Mochtar Lubis, 2008).
42