Page 48 - E-Modul Kapita Selekta PPKn SD
P. 48
dan perilaku memperoleh kekayaan tanpa bekerja (wealth without work); (2)
kesenangan tanpa hati nurani (pleasure without conscience); (3) pendidikan
tanpa watak (education without character); (4) bisnis tanpa moralitas (commerce
without ethic); (5) pengetahuan tanpa kemanusiaan (science without humanity);
(6) agama tanpa pengorbanan (religion without sacrifice); dan (7) politik tanpa
prinsip (politic without principle). Pertanyaan akhirnya muncul, “apa yang salah
dari bangsa kita ini’? Sikap-sikap ketidakjujuran dalam pendidikan juga
memberikan andil yang cukup kuat tereduksinya nilai-nilai moral. Sudah barang
tentu persemaian perilaku menyimpang itu berjalan sangat cepat secara vertikal
dan horizontal (Pranoto, 2010. Sebagaimana kita ketahui bahwa masyarakat
Indonesia yang patriarkhis selalu mendambakan perilaku para pemimpinnya
sebagai teladan, sehingga rakyat tinggal meniru perilaku mereka. Tapi
sayangnya, hal itu sulit terjadi. Belum lagi kita saksikan, praktek pendidikan
Indonesia cenderung terfokus pada pengembangan aspek kognitif sedangkan
aspek soft skils atau non-akademik sebagai unsur utama pendidikan karakter
belum diperhatikan secara optimal bahkan cenderung diabaikan.
Menurut Antonio Damasio (2006), menyelami empati dan rasa (afektif)
tidak memperoleh porsi yang jelas dalam struktur pendidikan kita, sehingga
anakanak kita cenderung dididik menjadi semacam robot yang minim rasa.
Dalam pandangan Damasio, seharusnya pendidikan seni budaya dan
humaniora diseimbangkan jumlah durasi dan substansinya, untuk dan dalam
rangka menumbuhkan rasa kemanusiaan manusia, yaitu emosi dan spiritualitas
yang menyatu dalam pikir dan perilaku. Menyeimbangkan pikiran dan perasaan
dalam praktek tentu akan menumbuhkan sifat menghargai antara satu dengan
yang lain. Kombinasi pikiran dan perasaan yang efektif akan melahirkan arti dan
nilai (meaning and value) yang berkelanjutan dalam perilaku anak atau peserta
didik.
Terjadinya praktek-praktek korupsi merupakan bentuk ciri orang telah
kehilangan beberapa karakter baik, terutama sekali kejujuran, pengendalian diri
(self regulation), dan tanggung jawab sosial (Raka, 2006). Hal lain yang juga
menunjukkan krisis karakter adalah sikap mental yang memandang bahwa
kemajuan bisa diperoleh secara mudah, tanpa kerja keras.
b. Pendidikan Karakter Sebuah Solusi
Beberapa kasus tidak terpuji seperti digambarkan pada bagian awal di
atas, menandakan bahwa pendidikan karakter kita belum mampu membangun
dan menjadikan orang berkarakter baik. Kerinduan terhadap suasana
kebersamaan dan kebangsaan yang seharusnya menjadi landasan kejiwaan
dalam kehidupan berbangsa sudah tidak kita jumpai lagi. Telah terjadi krisis
karakter pada masyarakat kita. Untuk itu perlu ada pembudayaan pemahaman,
penghayatan, dan pengamalan nilai-nilai kebajikan yang bersumber dari nilai-
nilai universal yang absolut. Berbagai upaya guna mengatasi krisis karakter dan
gugatan terhadap ketidak berdayaan pendidikan (seperti digambarkan di atas)
dalam membentuk karakter berkualitas telah dilakukan baik oleh pemerintah
maupun stakholders. https://www.youtube.com/watch?v=GygY1tz23NU.
Diantaranya dengan membuat undang-undang, peraturan-peraturan,
dan praktek-praktek pendidikan yang mengarah pada pembentukan karakter
yang baik melalui pendidikan karakter. Pendidikan tetap dianggap sebagai
44