Page 47 - E-Modul Kapita Selekta PPKn SD
P. 47

Sangat menyedihkan sebagai masyarakat yang mengambil jalan pintas untuk
                   mencapai sesuatu tanpa memperhatikan etika dan perilaku positif yang menjadi
                   dambaan bangsa. Jalan menerabas (Koentjaraningrat, 1974) untuk mencapai
                   sesuatu diakuinya sebagai jalan halal. Perilaku menerabas banyak terjadi dan
                   dilakukan  karena  tidak  ada  warning  dan  patokan  yang  kuat  dan  tegas  serta
                   hukuman  terhadap  pelanggarnya.  Perilaku  semacam  ini  nampaknya  masih
                   menggejala hingga kini.
                          Adanya  berbagai  kasus  terkait  etika,  moralitas,  sopan  santun  atau
                   perilaku  dari  kalangan  terdidik  yang  tidak  mencerminkan  nilai  karakter
                   pendidikan  itu  sendiri,  membuktikan  bahwa  pembangunan  karakter  belum
                   berhasil. Pendidikan  ditengarai hanya menghasilkan robot-robot yang mampu
                   menaklukkan  dunia  tetapi  tidak  mampu  menaklukkan  dirinya  sendiri.  Hal  ini
                   tentu saja menghasilkan generasi terpelajar yang menjadi kurang ajar, kaum
                   intelektual melakukan tindakan kriminal, para sarjana yang durjana, anak yang
                   durhaka kepada orang tua, murid yang berani pada guru dan masih banyak lagi
                   lainnya.    Bangsa  Indonesia  yang  dulu  dikenal  peramah,  sekarang  menjelma
                   menjadi bangsa yang pemarah. Bangsa Indonesia dianggap telah kehilangan
                   nilai-nilai kejatian diri sebagai bangsa yang terhormat dan bermartabat akibat
                   meruyaknya  aksi-aksi  kekerasan  dan  vandalisme  yang  tak  henti-hentinya
                   menggoyang  sendi-sendi  kehidupan  berbangsa  dan  bernegara.  Dengan
                   meminjam istilah Megawangi (2007c:73), masyarakat modern sulit dapat walk
                   the  talk  (tidak  sesuainya  perkataan  dengan  perbuatan,  sering  menyuarakan
                   moral, tetapi perilakunya tidak sesuai dengan kaidah-kaidah agama).
                          Pada  era  milenial  seperti  sekarang  dengan  eforia  demokrasi  berjalan
                   melewati batas kebebasan demokrasi, sehingga terjadi penyimpangan perilaku
                   dan  menurunkan  karakter  bangsa.  Pancasila  dengan  perasannya  gotong
                   royong makin redup dan yang muncul adalah konflik etnik, kerusuhan, destruktif,
                   pembunuhan  dan  sejenisnya  (Ericksen,  1993).  Maraknya  perilaku  anarkhis,
                   tawuran antar warga, penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, perkelahian,
                   korupsi,  kriminalitas,  perusakan  lingkungan  dan  berbagai  tindakan  patologi
                   sosial  lainnya  menunjukkan  indikasi  adanya  masalah  akut  dalam  bangunan
                   karakter bangsa. Bangsa kita yang multikultur dan multi wilayah di bawah panji
                   “Bhineka Tunggal Ika” dinilai telah kehilangan sikap ramah, toleransi, dan saling
                   menghargai.  Nilai-nilai  keberadaban  telah  tereduksi  oleh  sikap-sikap  tidak
                   beradab  seperti  dalam  bentuk  tawuran  pelajar,  pemerkosaan,  pembunuhan,
                   mutilasi, aborsi, dan berbagai perilaku vandalistis lainnya yang menggurita di
                   segenap lapis dan lini kehidupan masyarakat.
                          Merebaknya kasus-kasus praktek korupsi para petinggi juga berawal dari
                   kegagalan  pendidikan  dalam  menjalannya  fungsinya  yang  ditandai  dengan
                   gejala tereduksinya moralitas dan nurani sebagian dari kalangan masyarakat,
                   akademisi,  dan  para  petinggi  negara.  Perilaku  para  eksekutif,  legislatif,  dan
                   yudikatif kini ternyata tidak bisa sebagai teladan dalam membangun karakter
                   positif.  Maraknya  korupsi,  suap,  markus  yang  melanda  jajaran  pejabat  teras
                   menandai  bahwa  perilaku  itu  sungguh  sangat  mengurangi  volume  karakter
                   luhur.  Fenomena  yang  tergambarkan  di  atas,  dimasa  mendatang  dapat  saja
                   menimbulkan  indikasi  yang  lebih  buruk  yang  digambarkan  oleh  Mahatma
                   Ghandi  (dalam  Soedarsono,  2010)  yang  disebut  sebagai  “tujuh  dosa  yang
                   mematikan” (the seven deadly sins), yaitu: (1) semakin merebaknya nilai-nilai




                                                                                                     43
   42   43   44   45   46   47   48   49   50   51   52