Page 25 - Tokoh Pemikir Karakter Bangsa
P. 25

TOKOH PEMIKIR KARAKTER BANGSA




                ideologi yang fundamental telah mulai mengendor,  di saat itu pula
                sastra  Indonesia  modern  semakin  menjadi  bagian  dari  suasana
                kehidupan kekotaan. Kalau dalam tradisi puisi  pantun dan syair telah
                dirasakan sebagai gaya lama, maka kini soneta telah  tampil sebagai
                gaya  puisi  baru.  Dalam  prosa  pergumulan  pandangan  dan  visi
                diungkapkan  dalam  bentuk  novel  yang  biasanya  juga  benuansa
                romantik  terjadi  juga  perubahan.  Jika  Sitti  Nurbaya    (karya  Marah
                Rusli) terbitan tahun 1920-an, masih  disibukkan oleh masalah konflik
                adat  dan  hasrat  modern,  maka  Salah  Asuhan  (karya  Abdul  Muis,
                bekas tokoh Sarekat Islam) telah mempersoalkan hubungan kultural
                Timur  dan  Barat.  Tetapi  ketika  novel  Belenggu  (karya  Armijn  Pane)
                telah  terbit  (awal  1940)    masalah  dinamika  kehidupan  kalangan
                terpelajar dalam zaman modern telah menjadi problematik kultural.
                        Jika  demikian  halnya  dengan  sastra  yang  dianggap  “resmi”–
                artinya  diakui  secara  formal  sebagai  karya  sastra—maka  semakin
                meriah suasananya dalam apa yang disebut “setengah mengejek dan
                setengah  merendahkan”,  roman  picisan.  Sastra  “tidak  resmi”  ini
                tidak saja nekad bercerita tentang percintaan anak muda, tetapi agak
                sering  juga  tampil  dengan  kisah  percintaan  dalam  kontks  suasana
                nasionalisme yang tidak selamanya  ditutup-tutup. Sementara itu film
                dan  sandiwara  yang  biasa  memakai  bahasa  Melayu-pasar  pun
                semakin  menampilkan  diri    sebagai  penyalur  bahasa  Indonesia
                modern.
                         Dalam  suasana  inilah  apa  yang  kemudian  dikenal  sebagai
                “polemik  kebudayaan”    (sesuai  dengan  judul    buku  yang  berisikan
                perdebatan  tentang  “kebudayaan  Indonesia”)  terjadi  dan  terjadi
                dengan penuh gairah. Meskipun semua dilakukan melalui  berbagai
                corak penerbitan pers—majalah atau surat kabar—tetapi kegairahan
                dalam berpolemik sangat terasa juga. Bukankah perdebatan pers bisa
                melibatkan peserta dari berbagai  kota? Seperti apakah kebudayaan
                Indonesia ini  sesungguhnya? Apakah Indonesia adalah sesungguhnya
                perpanjangan saja dari masa lalu–masa ketika realitas historis hanya
                memperlihatkan keterpisahan kultural daerah-daerah ataukah suatu
                ikatan kebangsaan baru yang dengan sengaja “dilahirkan”? Polemik



                                                                                  15
   20   21   22   23   24   25   26   27   28   29   30