Page 27 - Tokoh Pemikir Karakter Bangsa
P. 27

TOKOH PEMIKIR KARAKTER BANGSA




                Bukankah  di saat revolusi nasional sedang bergejolak, ketika  cita-
                cita  nasional  sedang diperjuangkan dengan “darah dan air mata” , di
                waktu itu pula apa yang biasa diejek kaum Republiken (yaitu mereka
                yang  setia  pada  Republik  Indonesia  denga  ibukota  sementara
                Yogyakarta)  sebagai “negara boneka”  didirikan di beberapa tempat
                oleh  mereka  yang  menganggap  diri  sebagai  penyalur  hasrat
                masyarakat  daerah.    Entah  karena  bujukan  atau  mungkin  juga
                hasutan sang penjajah, dan entah dorongan hasrat akan kekuasaan
                yang  provincialis  atau  karena  faktor  lain,  tetapi  kehadiran  berbagai
                “negara  boneka”  itu  membayangkan  suasana  keretakan    dalam
                kesatuan bangsa. Maka bisalah dipahami juga kalau  di suatu saat—
                ketika  Konferensi Meja Bundar (Den Haag, 1949) diadakan-- jumlah
                dari      apa  yang  disebut  kaum  Republiken  “negara  boneka”  itu
                ternyata  lebih  dari  dua-puluh  buah,  meskipun  yang  terbesar  dan
                terkuat  tetap  yang  tertua  juga  (Negara  Indonesia  Timur,  Negara
                Sumatra Timur).

                        Di samping itu bagaimanakah bisa  terlupakan berbagai corak
                krisis dan perbenturan fisik yang keras antara sesama anak bangsa--
                mulai  dari  apa  yang  disebut  ”revolusi  sosial”  sampai  dengan    yang
                terang-terangan  ingin  mendirikan  ”negara  dalam  negara”  terjadi  di
                saat  bangsa  sedang  menghadapi  ancaman    dari  pasukan  tentara
                bekas  penjajah,  Belanda.  Tetapi  terlepas  dari  soal  siapa  yang  salah
                dan siapa pula yang benar, harus diakui juga bahwa sudah  sejak awal
                tahun  1946  berbagai  corak  konflik  internal  telah  mulai  menjadi
                bagian dari dinamika revolusi nasional. Ada kalanya konflik internal
                itu    berdimensi  kecil  saja  tetapi  ada  juga  yang  bukan  saja
                menggoncang ketenteraman masyarakat tetapi juga  praktis berhasil
                “mengubah  jalan  sejarah”.  “Perang  Cumbok”  di  Aceh  Timur  (1946)
                menyebabkan    terbunuhnya  sekian  banyak  kaum  uluebalang  dan
                terjadinya  peralihan  dalam  sistem  kekuasaan.  Para  uluebalang
                tersingkir,  golongan  ulama  tampil  sebagai  penentu  arus  politik.
                Sementara  itu  apa  yang  biasa  disebut  “revolusi  sosial”  meledak  di
                keresidenan Sumatra Timur. Sekian banyak kaum bangsawan Melayu,
                penguasa  dari  beberapa  kesultanan,    tersingkir  dari  wilayah




                                                                                  17
   22   23   24   25   26   27   28   29   30   31   32