Page 23 - Tere Liye - Bumi
P. 23

TereLiye “Bumi”   20











                              EMI mendengar sapaan suara dingin  itu  dan menatap sosok
                  kurus tinggi yang entah dari mana datangnya tiba­tiba telah berdiri persis
                  di depanku—aku berseru  tertahan,  kaget, kehilangan keseimbangan,
                  refleks berusaha  meraih pegangan  di dinding kelas. Saat telapak

                  tanganku terlepas dari wajah, tubuhku otomatis kembali terlihat.
                  Kejadian itu cepat sekali. Saat aku berhasil  menyeimbangkan tubuh,
                  mendongak, kembali menatap ke depan, memastikan siapa yang tiba­tiba
                  menyapaku, sosok  tinggi kurus itu telah lenyap, me­nyisa­kan hujan
                  deras sejauh mata memandang. Angin kencang mem­buat bendera di
                  lapangan sekolah berkelepak. Tempias  air me­ngenai lorong lantai dua
                  tepercik ke wajahku yang setengah pucat.

                         Jantungku berdetak kencang. Astaga, aku yakin sekali melihat
                  sosok itu. Wajahnya yang tirus dan senyumnya yang tipis, bah­kan aku
                  ingat sekali bola matanya yang hitam memesona. Ke  manakah dia
                  sekarang? Mataku menyapu sepanjang lorong, memastikan, memeriksa
                  semua kemungkinan. Aku hendak ber­anjak mendekati tepi lorong, tidak
                  peduli tempias lebih banyak mengenai seragam sekolahku.


                         ”Hei, Ra, apa yang  barusan kamu lakukan!” Seruan Ali membuat
                  kakiku berhenti.

                         Aku menoleh, baru menyadari bahwa Ali berdiri pucat di
                  belakangku, menatapku yang kuyakin juga pucat. Bedanya, ekspresi
                  wajah Ali seakan baru saja melihat sesuatu yang menarik sekali.
                  Sedangkan ekspresi wajahku pasti sebaliknya.





                         ”Bagaimana caranya kamu tiba­tiba muncul di sini?” Ali mendekat,
                  wajahnya menyelidik.

                         Aku mengeluh dalam hati, melangkah  mundur ke dinding lorong.
                  Kenapa pula urusan ini harus terjadi dalam waktu ber­samaan? Kenapa
                  pula si biang kerok ini ada di sini saat aku masih penasaran setengah






                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   18   19   20   21   22   23   24   25   26   27   28