Page 27 - Tere Liye - Bumi
P. 27

TereLiye “Bumi”   24




                         ”Bahkan, kamu tidak perlu jadi setipis udara untuk tidak ter­lihat.”

                  Ali menatapku antusias, merapikan rambut berantakan yang mengenai
                  ujung mata. ”Jika kamu terlalu kecil atau sebalik­nya terlalu besar dari
                  yang melihat, kamu bisa menghilang dalam definisi yang berbeda. Semut,
                  misalnya, kamu coba saja lihat semut yang ada di lapangan sekolah dari
                  lantai dua ini, dia meng­hilang karena terlalu kecil  untuk dilihat.
                  Sebaliknya, Bumi,  misalnya, karena bola Bumi terlalu besar, tidak ada
                  yang bisa melihatnya benar­benar mengambang mengitari matahari. Kita
                  hanya tahu dia mengambang lewat gambar, televisi, tapi tidak pernah
                  melihat dengan mata kepala sendiri. Tidak terlihat dalam definisi lain.”

                         ”Sok tahu,” aku berbisik ketus.


                         Ali hanya tertawa pelan, tidak tersinggung seperti biasanya tepatnya
                  tidak tertarik bertengkar seperti biasanya. ”Aku tahu sekali, Ra. Internet.
                  Aku membaca lebih banyak dibanding siapa pun di sekolah ini. Termasuk
                  Miss Keriting dengan semua PR menyebalkannya. Pelajaran matematika
                  penting katanya, puh, itu mudah saja. Bahkan kalau sekarang masih di
                  sekolah dasar, aku bisa mengerjakan PR itu. Kamu sungguhan bisa
                  menghilang ya, Ra?”


                         Aku hampir berseru jengkel bilang tidak, tapi itu bisa me­mancing
                  Miss Keriting keluar. Aku segera menurunkan volume suara, menjawab
                  datar. ”T­i­d­a­k.”

                         ”Kamu justru sedang menjawab sebaliknya, Ra. Iya, kamu bisa
                  menghilang.” Ali mengepalkan tangannya, bersorak dengan bahasa tubuh.
                  ”Terima kasih, Ra. Itu berarti aku tidak seaneh yang sering orangtuaku
                  katakan.”


                         Aku mengembuskan napas sebal. Sudah kujawab tidak,  Ali tetap
                  menganggap aku menjawab iya.

                         Aku kembali menatap hujan, memutuskan menyerah me­nanggapi
                  rasa ingin tahu Ali. Aku sepertinya telah keliru, bukan hanya dua jam
                  pagi ini saja akan menghabiskan waktu bersama si biang kerok ini.
                  Kemungkinan seharian ini, bahkan besok­besok­nya lagi, dia akan terus
                  tertarik mengikutiku, me­mastikan.









                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   22   23   24   25   26   27   28   29   30   31   32