Page 163 - CITRA DIRI TOKOH PEREMPUAN DALAM TUJUH NOVEL TERBAIK ANGKATAN 2000
P. 163

pembayaran rumah yang dijual untuk mabuk-mabukan dan bermain perempuan.

                        Padahal, Irewa dinikahi Malon dengan dibeli oleh harta adat (babi), dan harta itu
                        merupakan mahar yang sudah menjadi milik Irewa untuk diusahakannya sebagai

                        mata pencaharian bagi kehidupan berumah tangganya bersama Malom.

                             Jika  ditinjau  dari  sudut  pandang  feminisme,  kehidupan  Irewa  sangat
                        dipengaruhi  oleh  berbagai  pesoalan  ketidakadilan  gender.  Ketidakadilan  gender

                        yang dialminya termanifestasikan ke dalam bentuk kekerasan gender, subordinasi
                        gender, pelabelan (sterotipe) gender, dan beban kerja yang lebih banyak (Fakih,

                        2013). Penggambaran tentang kekerasn gender dan praktek-praktek dari budaya

                        patriarki  dalam  novel  ini  menjadikan  Dorothea  Rosa  dikategorikan  sebagai
                        pengarang  beraliran  feminis  radikal  (Djajanegara,  2003).  Adapun  upaya-upaya

                        penentangan Irewa terhadap ketidakadilan gender adalah dengan cara melupakan
                        segala  kesedihan  dan  kepedihan  dengan  keyakinannya  mencoba  membangun

                        eksistensi  diri  dalam  masyarakat  pegunang  Megafu  dan  Distrik  Yar.  Dalam
                        eksistensinya, Irewa terus berjuang dengan berdagang utnuk membesarkan anak-

                        anaknya,  sekaligus  mendapat  kepercayaan  menjadi  penyuluh  kesehatan  bagi

                        penganggulangn HIV AIDS masyarakat Distrik Yar. Atas penggambaran eksistensi
                        Irewa dalam cerita novel ini, maka Dorothea Rosa juga dapat dikategorikan sebagai

                        pengarang beraliran eskistensialis (Simone de Beauvoir).
                             Novel Isinga: Roman Papua sangat tepat dikaji dengan kritik sastra feminis

                        ideologis,  karena  kritik  jenis  ini  mengetengahkan  tentang  ketidakadilan  gender

                        perempuan,  budaya  patriarkhi,  dan  mengungkap  tentang  citra  tokoh  perempuan
                        dalam cerita novel ini (Djajanegara, 2003). Novel ini dapat dikaji pula dengan kritik

                        feminis transformasi gender (Fakih, 2013) jika dalam peperngan antara suku Aitubu
                        dengan suku Hobone terselip serangan tembakan peluru membabi buta dari polisi

                        keamanan setempat terhadap kedua suku itu. Dalam hal ini, banyaknya korban yang

                        berjatuhan sesungguhnya bukan dari peperangan antar suku, namun dari tembakan-
                        tembakan yang diarahkan kepada masyarakat kedua suku yang tengah berperang.

                             Jika  ditinjau  dengan  ginokritik  (Showalter,  1981),  novel  Isinga:  Roman
                        Papua  ditulis  pengarang  perempuan  dengan  menceritakan  tokoh  perempuan







                                                                                                    158
   158   159   160   161   162   163   164   165   166   167   168