Page 195 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 195
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
dan terakhir Boné pada tahun 1611. Antara tahun 1603-1611 ini merupakan
fase pengislaman Sulawesi Selatan secara politis dan militer. Fase berikutnya
adalah (1) pengembangan ajaran Islam dan pemantapannya dalam pelaksanaan
kekuasaan politik tiap-tiap kerajaan, dan (2) pemantapan integrasi ajaran Islam
ke dalam adat istiadat dan kehidupan masyarakat (Mattulada,1983: 225-226).
Sebelum penerimaan Islam secara resmi oleh sejumlah karajaan di Sulawesi
Selatan, penduduk di kawasan ini telah melakukan kontak dengan Islam, baik
secara langsung maupun tidak langsung, misalnya, hubungan perdagangan
dengan orang-orang Melayu atau Ternate yang dahulu menerima Islam. Pada
masa pemerintahan raja Gowa X (Raja I Manriogau Daeng Bonto Karaeng
Lakiung Tonipalangga Ulaweng, 1546-1565) sudah terbentuk perkampungan
orang Melayu di Sulawesi Selatan. Terlebih, pada masa pemerintahan raja XI
(Raja I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tonibatta, 1565) telah berdiri
sebuah mesjid di Mangallekanna dekat Somba Opu untuk orang Melayu
(Sewang, 2005: 1).
Semenjak menerima Islam pada abad ke-17, orang Bugis bersama dengan orang
Aceh dan Minangkabau di Sumatra; orang Melayu di Sumatra, Kalimantan,
dan Melayu Semenanjung; orang Sunda di Jawa Barat, dan orang Madura di
Pulau Madura dan Jawa Timur dipandang sebagai orang Nusantara yang kuat
keislamannya (Pelras, 2006: 4). Bahkan orang Bugis menjadikan agama Islam
sebagai bagian yang integral dan esensial dari pangngadereng, yaitu hal ikhwal
mengenai ade (adat), norma yang mengatur stratifikasi masyarakat (wari),
rapang (norma keteladanan dalam masyarakat), dan bicara (norma hukum)
(Mattulada, 1985: 275-277). Islamisasi Bugis dan Makassar ini merupakan
sebuah fase penting dalam sejarah kehidupan masyarakat.
Datangnya Islam di kalangan orang Bugis dan Makassar tersebut membawa
perubahan besar tidak hanya dalam kehidupan beragama yang berdampak
pada kehidupan politik dan pemerintahan serta sosial dan kemasyarakatan,
melainkan juga dalam kehidupan bersastra (bdk. Pelras, 2006: 148). Dengan
demikian sastra Bugis dan Makassar setelah fase islamisasi merupakan korpus
yang memiliki kedudukan penting dalam upaya memahami proses islamisasi
di masa lampau. Korpus ini merupakan produk budaya yang mencirikan dua
identitas, yaitu Bugis Makassar dan Islam.
181