Page 199 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 199

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







           Kesusastraan





           Keberadaan kesusastraan Bugis dan sastra Makassar yang masih dapat dijumpai
           hingga sekarang ini, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan, menjadi bukti
           bahwa suku bangsa ini memiliki tradisi sastra yang cukup panjang. Pada abad
           ke-14, orang Bugis telah melahirkan karya sastra yang dikenal luas dengan
           nama sureq Galigo atau La Galigo (Pelras, 2006: 63), yang digolongkan sebagai
           sastra besar pada masanya (lih. Koolhof, 1995: 1). Bahkan sebelum dibekukan,
           genre sastra yang berciri epik panjang ini telah hidup dalam kurun waktu yang
           cukup panjang dengan cara penyampaian secara lisan (lisan murni). Meskipun
           sambutan penikmatnya tidak sebesar pada masa lampua, tradisi pembacaan La
           Galigo masih dapat dijumpai pada kalangan masyarakat tertentu di Kabupaten
           Wajo, Sulawesi Selatan (Majalah Sureq, 2008:16-17).


           Tidak hanya epik La Galigo, orang Bugis dan orang Makassar juga memiliki
           banyak ragam sastra, yang hingga kini masih hidup di tengah-tengah
           masyarakat. Ragam sastra yang dimilikinya dan masih dapat dijumpai adalah
           galigo, pau-pau, toloq, sinriliq, élong atau kélong, paseng atau pasang. Berikut
           ini dibicarakan secara singkat ragam sastra Bugis dan sastra Makassar tersebut.


           Galigo  merupakan ragam sastra Bugis yang tertua. Ragam sastra ini telah
           hidup jauh sebelum kedatangan Islam di Sulawesi Selatan (Pelras, 2006:63),
           berbentuk epik (Koolhof, 1994: 1), atau puisi wiracarita (heldendicht) (Matthes,
           1872: 250). Isinya bercerita tentang penciptaan dunia dan penciptaan manusia
           atau asal usul manusia pertama yang mendiami dunia (Arsuka, 2003: 208-211),
           serta masa dinasti I La Galigo berkuasa dan hidup selama enam generasi turun-
           temurun di beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan dan daerah di sekitarnya
           (Pelras, 2006:35). Tokoh-tokoh dari kalangan déwata dan keturunannya yang
           dikenal, antara lain Batara Guru, putra Patotoqé yang diutus memerintah ke
           bumi dan menjadi cikal bakal raja-raja yang memerintah di Luwuq. Puisi La
           Galigo biasa juga disebut puisi metrum karena memiliki kesatuan irama empat
           atau lima suku kata setiap segmen dengan pola iramanya trokhaeus bersama
           daktilus (satu vokal panjang disusul dengan dua vokal pendek).

           Pau-pau  dalam tradisi  sastra  Bugis dan  sastra  Makassar  berarti  cerita.  Jika
           diperhatikan isi ceritanya, ia tidak dimaksudkan sebagai gambaran kehidupan
           nyata, meskipun ada juga di antaranya yang menyebutkan nama negeri atau
           wilayah yang dikenal ada (Enre, 1999: 86). Contoh pau-pau  adalah Pau-Paunna
           I Kukang, sebuah cerita rakyat dalam bahasa Makassar; Sureq Bekku, sebuah
           karya sastra saduran, dan lain-lain. Dalam sastra Makassar, ragam sastra pau-









                                                                                                185
   194   195   196   197   198   199   200   201   202   203   204