Page 197 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 197
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Berbagai teks yang telah dibukukan tersebut ditulis dengan menggunakan
aksara Lontaraq dan Sérang. Dalam hal ini perlu dibicarakan mengenai sistem
aksara yang digunakan dalam penulisan teks Bugis Makassar adalah sebagai
berikut.
Huruf Lontaraq terdiri atas dua jenis, yaitu lontaraq lama dan lontaraq baru.
Lontaraq lama disebut dengan jangang-jangang atau biasa juga disebut
ukiq manuq-manuq (tulisan burung), mengambil huruf Kawi sebagai model.
Sementara itu, huruf lontaraq baru yang bentuk dasarnya segi empat mengambil
huruf Sumatera sebagai model (Enre, 1999: 34). Huruf lontaraq ini merupakan
lambang bunyi yang mewakili bunyi suku kata.
Berdasarkan naskah-naskah lama diketahui huruf lontaraq baru yang paling
banyak digunakan, sedangkan huruf jangang-jangang sangat sedikit.
Penggunaan huruf lontaraq lama dapat ditemukan pada teks Perjanjian Bongaya,
sebuah perjanjian yang ditandatangani oleh kerajaan Makassar dan Pemerintah
Hindia Belanda pada tahun 1667. Huruf ini tidak ditemukan penggunaannya
pada teks yang berbahasa Bugis. Itulah sebabnya huruf lontaraq lama sebagai
Huruf Makassar, dan sebaliknya, huruf lontaraq baru adalah huruf Bugis (Enre,
1999: 40). Merosotnya penggunaan huruf lontaraq lama (jangang-jangang)
pada abad ke-17 disebabkan oleh faktor fluktuasi dalam dinamika sejarah, yang
ketika itu terjadi pemindahan kekuasaan dari tradisi besar maritim (kerajaan
Gowa) ke kerajaan agraris Bugis (kerajaan Bone) (PaEni, 2003: 2). Adapun huruf
Lontaraq baru hingga kini masih digunakan oleh orang Bugis dan Makassar
dalam menulis, baik dalam menyalin naskah-naskah lama, maupun berbagai
catatan, seperti surat menyurat, khitba, dan lain-lain.
Jenis huruf lain yang digunakan oleh orang Bugis dan orang Makassar dalam
menulis kepustakaan mereka adalah adalah huruf Sérang. Jenis huruf ini
merupakan pinjaman dari aksara Arab, merupakan sistem tulisan fonemik yang
lebih memfokuskan pelambang konsonan seperti sistem tulisan Arab. Tulisan
ini kemudian mengalami penyesuaian dengan bahasa Bugis dan Makassar
sehingga menimbulkan variasi grafem. Dari sudut pandang sekelompok variasi
aksara Arab tersendiri dalam kepulauan Indonesia, aksara Sérang merupakan
salah satu variasi dalam kelompok variasi aksara Arab di Indonesia (Young,
2012: 108). Penggunaan aksara Arab, yaitu aksara Sérang di Sulawesi Selatan
dimotivasi oleh orang Melayu yang menjabat juru tulis istana dalam Kerajaan
Gowa. Jauh sebelum Islam masuk ke Sulawesi Selatan, orang Melayu telah
mengenal dan menggunakan aksara Arab, yaitu aksara Jawi sejak abad ke-14
(Young, 2012: 98).
Jika dibandingkan dengan penggunaan aksara lontaraq dalam masyarakat,
penggunaan aksara Sérang tidak begitu banyak. Di antara data-data yang
didaftar pada buku Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Sulawesi Selatan
(PaÉni, 2003), naskah yang dituliskan dengan aksara Sérang berjumlah 780
183