Page 201 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 201
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Dalam kesusastraan Makassar, dikenal pula adanya ragam sastra royong. Ragam
sastra ini mirip dengan sinriliq karena juga berbentuk prosa lirik, sejenis nyanyian
atau sajian musik vokal yang disampaikan dalam ritus upacara adat Makassar,
seperti acara perkawinan, khitanan, nipasori baju bodo (pemakaian baju adat/
baju bodo) kepada anak gadis yang telah berumur 10 tahun, serta upacara
adat aqtompoloq (meminta doa restu anak yang baru lahir). Pertunjukan royong
biasanya diiringi oleh alat-alat musik tradisional, antara lain ganrang (gendang),
puiq-puiq (serompet), déngkang (gong), dan katto-katto (kentongan) (Solihing,
2004: 4, 7).
Selain bentuk prosa atau prosa liris di atas, dalam kesusastraam Bugis dan
Makassar dikenal juga ragam sastra puisi (Bugis: élong dan Makassar: kélong).
Élong (nyanyian) atau biasa juga disebut élompugi (nyanyian orang Bugis)
merupakan bentuk sastra yang terikat, dalam wujud baris, memiliki metrum,
dan memiliki makna tak langsung. Jenis-jenis élong, antara lain élong tokko
tellu (syair berlarik tiga), élong assimellereng (syair berkasih-kasihan), élong
sibali (syair berbalasan), dan lain-lain. Ada pula jenis puisi Bugis yang dapat mirip
dengan élong, yaitu wérekkada (ungkapan pepatah-pepatah Bugis), mantra,
dan paseng (pesan atau amanah yang mengandung nilai kearifan) (Yusuf dkk,
1996). Adapun kélong (syair atau nyayian) dalam tradisi sastra Makassar mirip
dengan élong dalam tradisi sastra Bugis. Ada pula bentuk puisi yang mirip dengan
kélong adalah doangang (mantra), pakkioq bunting (memanggil pengan-tin),
dondo (puisi untuk anak kecil), dan aru (ikrar setia)(Nur, 1973: 27-61).
Uraian singkat mengenai ragam kesusastraan Bugis dan Makassar memperlihatkan
bahwa kedua suku bangsa yang berkerabat dekat ini memiliki keragaman
produk budaya yang disebut dengan sastra. Dengan keragaman banyaknya
produk sastra ini menjadi bukti bahwa pada periode-periode tertentu di masa
lampau, sastra menjadi populer dan kegiatan bersastra menjadi hidup dan
bergairah. Mereka menyadari bahwa, sastra, selain sebagai kegiatan yang dapat
menyenangkan, juga menjadi alat menyampaikan pesan dan mengekspresian
atau menyatakan kondisi sosial budayanya.
187