Page 293 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 293
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
penyebar utama pemikiran sufistik. Puisi dan pemikiran mistis bertemu karena
118
berada dalam masalah yang sama, yakni bagaimana mengungkapkan sesuatu
119
yang tidak mudah diungkapkan. Sebagaimana Hamzah Fansuri dalam tradisi
sastra Melayu atau Ronggowarsito melalui sastra Jawa, Mustapa menuangkan
120
perasaannya melalui tradisi sastra Sunda. Sebuah kreatifitas literer bagaimana
tradisi sufistik Nusantara diserap dan diungkapkan dalam bahasa dan sastra
Sunda.
Ajaran Martabat Tujuh merupakan salah satu doktrin terpenting dalam mistisisme
Islam. Ia berusaha memecahkan problem filosofis tentang relasi antara Yang
Mutlak dan yang relatif, Yang Esa dengan yang banyak. Ia berakar dari bantahan
atas doktrin "penciptaan dari tiada' (creatio exnihilo, al-khalq min al-'adam).
Bagi para penganut tasawuf filosofis, creatio exnihilo tidak mungkin terjadi,
karena ia menjadikan Tuhan sebagai sasaran perubahan. Tuhan bersentuhan
dengan perubahan ciptaan-Nya dari tiada menjadi ada. Mereka menolaknya
dengan mengajukan teori manifestasi Tuhan (tajalli). Sebuah teori penciptaan
yang berasal dari manifestasi esensi diri-Nya. 121
Umumnya penganut tasawuf filosofis menggunakan teori tajalli. Ia menegaskan
bahwa Tuhan adalah satu-satunya Yang Ada (wahdatul wujud/tawhidul wujud).
Tuhan menciptakan makhluk-Nya sebagai objek cinta-Nya. Makhluk-Nya tidak
muncul dari ketiadaan, tetapi melalui determinasi sifat Tuhan terhadap esensi
diri-Nya sehingga terwujudlah makhluk sebagai manifestasi-Nya. Melalui tajalli,
Tuhan bukan hanya menjadi penyebab eksisitensi makhluk, tetapi Ia juga terlibat
dalam proses manifestasi tersebut. Manifestasi tersebut terjadi melalui hirarki
wujud yang terdiri dari tujuh tingkatan wujud sehingga disebut martabat tujuh
(maratib al-sab', martabatpitu): ahadiyat, wahdat, wahidiyat, alam arwah, alam
mithal, alam ajsam, dan insan kamil.
Muhammad ibn Fadhlillah Al-Burhanfuri (1545-1620) merupakan perintis
ajaran ini. Ia menuangkannya dalam Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi (ditulis
1590). Sebuah teks tasawuf paling penting abad ke-17. Ia sebenarnya berupa
penjelasan singkat seputar keberlimpahan ajaran metafisika Ibnn'Arabi dan
Al-Jili tentang martabat wujud. Karyanya merepsesentasikan sebuah upaya
122
mengendalikan kesecenderungan ekstrem kelompok-kelompok mistik tertentu
di India dan memastikan untuk berpedoman dan mempraktekkan elemen
dasar ajaran Islam. Bisa dikatakan Tuhfah merepresentasikan tradisi ortodoksi
sufistik. Ini dibuktikan dengan komentar Al-Burhanfuri sendiri atas Tuhfah,
123
yakni Al-Haqiqah al-Muwafaqah li al-Syari'ah. Ia menjelaskan posisinya dalam
melakukan rekonsiliasi tasawuf dengan syariat dan membuktikan bahwa ajaran
hakikat dalam Tuhfah tidaklah menyimpang dari dasar-dasar ajaran Islam
sebagaimana dibayangkan banyak orang. 124
Al-Burhanfuri merupakan penganut tarekat Shattariyah. Bisa dipahami bila
kemudian popularitas martabat tujuh dalam Tuhfah menyebar terutama di
lingkungan tarekat ini. Al-Burhanfuri merupakan teman dekat Syeikh Sibghatallah
279