Page 296 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 296

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







                                    pengaruh martabat tujuh. Ia menunjukkan perpaduan antara martabat tujuh
                                    dengan tradisi kejawen seperti  Dewa Ruci.  Begitu pun,  Suluk Wujil yang
                                                                              140
                                    dihubungkan dengan Sunan Bonang, mengambil beberapa doktrin dalam
                                    martabat tujuh. 141

                                    Di Priangan abad ke-20, pengaruh martabat tujuh juga kemudian menyebar
                                    dalam bentuk  wawacan, sebuah cerita yang dikarang menggunakan  pupuh
                                    layaknya  guguritan atau  dangding.  Wawacan Muslimin-Muslimat misalnya,
                                    menunjukkan pengaruh martabat tujuh di dalamnya. Wawacan ini ditulis oleh
                                    Asep Martawijaya di Garut sekitar tahun 1959 berdasarkan nasehat seseorang
                                    bernama Ki Ajar Padang.  Selain itu, ajaran martabat tujuh ini juga dijadikan
                                                            142
                                    lensa pembacaan spiritual atas sejumlah legenda yang disebut Mustapa sebagai
                                    pasulukan Pasundan, seperti Mundinglaya Di Kusumah, Lutung Kasarung dan
                                    lainnya. HR. Hidayat Suryalaga (1941-2011) sebagai penerus pemikiran Mustapa
                                    yang pernah tergabung dalam komunitas Galih Pakuan memperjelas lensa
                                    martabat tujuh ini dalam sejumlah karyanya. Ia menyebutnya "sapta mandala
                                    panta-panta." 143

                                    Mustapa yang hidup di awal abad ke-20 kemungkinan terhubung dengan tradisi
                                    tarekat Shattariyah di tatar Sunda. Ia diduga memiliki silsilah tarekat Shattariyah
                                    yang terhubung dengan Abdul Muhyi. Ia juga pernah lama tinggal di Mekah,
                                    menjadi penghulu di Kutaraja Aceh dan Bandung, dan sempat berkeliling Jawa,
                                    mengumpulkan dan menyalin banyak naskah dari Jawa. Karya puisi dangding
                                    sufistik dan karya prosanya tentang martabat tujuh tidak bisa dilepaskan dari
                                    latar karirnya yang memungkinkan bersentuhan dengan teks dan tradisi tarekat
                                    Shatariyah dan pesantren di Nusantara.

                                    Dalam salah satu  dangding-nya,  Pucung Lutung buntung naek kana pager
                                    gintung  (Pucung, Monyet buntung naik ke atas pagar gintung), Mustapa
                                    menggambarkan apa yang dimaksudkannya dengan martabat (alam) tujuh.

                                    34.  Alam tudjuh nu tilu bagian itu      Alam tujuh itu tiga bagian
                                         Ahadiat wahdat wahidiat kabeh       Ahadiat, wahdat, wahidiat, semua
                                         Lamun nelah di aing ngan bobodoan Bila disebut ada padaku sekedar
                                                                             bohongan

                                    35.  Anu opat bagian aja di mahluk       Yang empat bagian ada di makhluk
                                         Njawa misal djasmani insanan kabeh Nyawa (arwah), mitsal, jasmani
                                         Lebah dieu lahir njembah kabatinan  (ajsam), insan (kamil), semua
                                                                             Di sini lahir menyembah batin














                    282
   291   292   293   294   295   296   297   298   299   300   301