Page 419 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 419
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
Endnotes
1 Ya Ampun adalah jenis lagu kasidah jujur, tak berpretensi dan bersahaja. Liriknya berisi
pengaduan dan mohon perlindungan atas buruknya kondisi sosial politik kepada Allah
dengan meminta tuah para Nabi, dinyanyikan Emha dan diiringi sekitar 30 orang
penggembira dalam suasana desa, semuanya laki-laki, tapi sambil bergoyang joget apa
adanya. Tak ada kepura-puraan. Di wajah Emha dan semua yang joget itu tak tersurat beban
bahwa itu adalah lagu kasidah yang “melanggar pakem.” Ia seolah ingin menyuguhkan
keluguan, kepolosan dan kejujuran, yang karena itulah, kritik-kritiknya mengena karena
berangkat dari kejujuran diri.
2 Tembang ciptaan Sunan Kalijaga (ada juga yang mengatakan Sunan Giri) yang penuh
makna. Lagunya dinyanyikan berbagai versi dan maknanya yang mendalam diulas banyak
tulisan. Intinya, Ilir-Ilir adalah adalah tembang nasehat yang mendalam dan filosofis di
zaman parawali. Komposisi Ilir-Ilir yang sangat bagus adalah karya Handel dalam konser
harpa “Harp to Heart” yang menampilkan The World Harp Ensemble (WHE) pada 28 Mei
2010 di Hotel Mulia, Senayan Jakarta.
3 Usaha-usaha kreatif menggunakan atau memadukan seni, sastra dan musik untuk dakwah,
“menyenikan Islam” atau menggunakan Islam menjadi inspirasi seni, sudah berlangsung
lama di Nusantara. Generasi awal yang harus disebut adalah parawali (walisongo) yang
telah memasukkan nilai-nilai dan filosofi bahkan menciptakan musik Islam dalam kesenian
Hindu Jawa seperti wayang dan musik gamelan. Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Djati,
Sunan Giri dan Sunan Bonang semuanya terlibat dalam penggunaan seni sebgai media
dakwah. “Bonang” adalah bagian musik gemelan ciptaan Sunan Bonang sendiri. Di
zaman modern lebih banyak lagi, sang Paus Sastra Indonesia, H.B. Jassin, menulis “Al-
Qur’an Berwajah Puisi” tahun 1993 yang kontroversial. Seorang budayawan Sunda,
Hidayat Suryalaga, menulis karya Nur Hidayah terjemahan Al-Qur’an Bahasa Sunda dalam
bentuk pupuh (puisi) yang dikerjakannya selama 15 tahun.
4 Masih ada satu lagi jenis musik yang disebut kahin tapi jenis musik ini kurang populer
karena banyak digunakan untuk mengiringi nyanyian-nyanyian keagamaan (nashb) untuk
mengundang makhluk-makhluk ghaib seperti jin dan roh-roh halus. Ahli-ahli sihir Arab
jahiliyah dan dukun-dukun Yahudi, menurut Hadi, konon menggunakan alat ini pada
periode awal kemunculan Islam.
5 Tari Saman biasanya ditampilkan pada peringatan peristiwa-peristiwa penting seperti
kelahiran Nabi Muhammad SAW (Maulud). Tari ini diciptakan oleh Syekh Saman sekitar
abad XIV Masehi, seorang ulama yang berasal dari Gayo di Aceh Tenggara. Awalnya, tarian
ini hanyalah berupa permainan rakyat yang dinamakan Pok Ane. Pada perkembangannya,
kemudian dimasukkan iringan syair-syair puji-pujian kepada Allah SWT yang disertai
kombinasi tepukan-tepukan para penari. Selain seni, tari Saman adalah salah satu
media dakwah di Aceh. Tari itu ditetapkan UNESCO sebagai Daftar Representatif Budaya
Takbenda Warisan Manusia.
6 Pembahasan tentang riwayat Rofiqoh Dharto Wahab serta sepak terjangnya sebagai tokoh
Islam perempuan, lihat Rahman, “Rofiqoh Darto Wahab: Qari’ah dan Seniman Kasidah,”
dalam Burhanuddin (2002).
7 Mungkin karena banyak salah difahami, Kiayi Kanjeng dalam website-nya menjelaskan
bahwa Gamelan Kiai Kanjeng sebenarnya bukannama grup musik, melainkan “nama
sebuah konsep nada pada alat musik “tradisional” gamelan yang diciptakan oleh Novi
Budianto. Kalau dalam khasanah musik Jawa terutama pada gamelan lazimnya sistem
tangga nada yang dipakai adalah laras pentatonis yang terbagi ke dalam dua jenis nada
yakni pelog dan slendro, maka gamelan yang digubah oleh Novi ini tidak berada pada jalur
salah satunya, alias bukan pelog bukan slendro. Disebut demikian karena memang bila
ditilik dari konsep tangga nadanya, ia berbeda dengan gamelan-gamelan pentatonis baik
yang pelog maupun slendro. Meskipun bila ditinjau dari segi bahan dan bentuknya gamelan
KiaiKanjeng tetaplah sama dengan gamelan Jawa pada umumnya. Dan perbedaan nada
tersebut terletak pada jumlah bilahannya serta kenyataan bahwa gamelan Kiai Kanjeng
juga merambah ke wilayah diatonis, meski tidak sepenuhnya. Tepatnya: sel-la-si-do-re-mi-
fa-sol, dengan nada dasar G=do atau E Minor.”
405