Page 424 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 424
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
estetiknya, isu-isu Islam bagaimanapun tak bisa diabaikan, baik dilihat dari
kacamata Islam maupun kacamata puisi Indonesia sendiri. Dilihat dari kacamata
Islam, isu-isu Islam pastilah merupakan satu fenomena dari berbagai dinamika
Islam yang hidup di hati umat Islam. Dilihat dari kacamata sastra Indonesia, isu-
isu Islam merupakan satu fenomena dari isu-isu aktual yang menjadi renungan
para penyair Indonesia, apalagi penyair Muslim pastilah merupakan mayoritas
penyairnya. Dengan demikian, isu-isu Islam dalam puisi Indonesia merupakan
bagian integral dari tradisi intelektual Islam Indonesia, demikian pula Islam
merupakan bagian integral dari puisi (dan sastra) Indonesia itu sendiri. Sayangnya,
Islam dalam puisi (dan sastra) Indonesia modern jarang sekali dilihat dengan
kacamata pembesar, sehingga ia seolah hanya merupakan isu pinggiran, baik
bagi sastra Indonesia maupun Islam Indonesia.
Isu-isu Islam dalam puisi pertama-tama tentu saja berkaitan dengan kedudukan
puisi dalam struktur kognitif Islam. Hal itu harus dilacak dari ambivalensi atau
ambiguitas sikap Islam terhadap puisi dan penyair. Di satu sisi, Al-Qur’an
memberikan peringatan keras perihal puisi dan penyair. Al-Qur’an mengatakan
bahwa Tuhan bukan saja tidak mengajarkan puisi (syi’r) kepada Nabi Muhammad,
melainkan bahkan puisi tidak pantas baginya (QS Yâsîn/36: 69). Al-Qur’an juga
mengutuk para penyair, yakni bahwa mereka diikuti oleh orang-orang sesat,
suka mengembara di lembah-lembah, dan mengatakan apa yang tidak mereka
kerjakan (QS As-Syu’aro’/26: 224-226). Semua ini tampak merupakan sikap
negatif Al-Qur’an terhadap puisi dan penyair. Tetapi di sisi lain, Al-Qur’an sendiri
penuh dengan ayat-ayat yang sangat puitis. Bahkan sejak wahyu pertama, Al-
Qur’an menggunakan rima dan metafor, dua peralatan penting dalam puisi
(Jamal D. Rahman, 2014). Lebih dari itu, Al-Qur’an secara umum merupakan
“kitab sastra terbesar” (M Nur Kholis Setiawan, 2005; Muhammad A Khalafullah,
2002), yang harus dibaca dengan citarasa sastra pula. Ditambah lagi dengan
sejumlah Hadis yang menunjukkan apresiasi Nabi Muhammad terhadap puisi,
1
puisi dan sastra pada umumnya bagaimanapun mendapat kedudukan positif
dalam struktur kognitif Islam. Dalam sikap Islam terhadap puisi dan penyair yang
tampak ambivalen ini, Al-Qur’an menekankan pengecualian yang tentu saja
merupakan ideal Al-Qur’an sendiri tentang penyair, yakni orang-orang beriman,
beramal saleh, banyak mengingat Allah, dan membela diri saat dizalimi (QS
As-Syu’aro’/26: 227). Dengan demikian, dalam struktur kognitif Islam, puisi
dan sastra pada umumnya dapat dibenarkan sejauh bertolak dari iman dan
niat amal saleh, yakni merefleksikan dimensi-dimensi kerohanian dan moral,
serta memproyeksikannya ke dalam kehidupan konkret terutama secara sosial.
Konsekuensi dari pandangan ini adalah keharusan adanya kaitan organik antara
puisi dan penyairnya. Bukannya otonom dari pengarang, puisi justru dipandang
mengekspresikan dunia batin penyair, pengalaman, gagasan, pandangan, dan
sikap pribadinya. Demikianlah maka basis utama puisi dalam struktur kognitif
Islam menggarisbawahi aspek-aspek spiritual, yang selanjutnya memancarkan
dimensi-dimensi intelektual, mental, emotif, dan selanjutnya termanifestasi
410