Page 428 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 428
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
tertentu berbeda satu sama lain. Namun demikian, betapapun berbeda
pengalaman setiap penyair, dan betapa pun unik daya ungkap mereka
masing-masing, tetaplah dapat dilihat corak umum kesadaran ketuhanan
mereka, setidaknya dalam momen-momen penting kesadaran relijius mereka
sebagaimana dikemukakan dalam puisi. Corak umum itu adalah kehendak
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, memuji keagungan-Nya, mengadukan
berbagai hal kepada-Nya, memohon ampun dan berdoa kepada-Nya, dan lain
sejenisnya. Tetapi pentinglah mendiskusikan beberapa corak ekspresi relijius
yang agak khusus dalam puisi, yaitu pengalaman rohani yang penuh guncangan
batin, beberapa ekspresi ekstase mistis dan corak pantheistis, dan puisi-puisi
zikir ―yang semuanya merupakan ekspresi relijius Islam dalam puisi Indonesia.
Jika Amir Hamzah (1911-1946) adalah penutup puisi Melayu sekaligus pembuka
puisi Indonesia modern, maka puisi ketuhanan dalam puisi Indonesia modern
dimulai dengan fenomena menarik, yaitu transformasi cinta manuisiawi ke cinta
ilahi sebagai pergulatan mental, emosional, sekaligus spiritual. Menarik, karena
dengan demikian, di masa awal kelahiran puisi Indonesia modern sudah muncul
semacam ketegangan hebat dalam cinta manusiawi, yang dilihat dari perspektif
moral dan spiritual Islam tentu saja merupakan masalah cinta profan sehingga
sebaiknya dihindari. Namun dalam kasus Amir Hamzah, cinta ilahi menjadi jalan
keluar dari ketegangan cinta profan tersebut. Sebagaimana ditunjukkan oleh
para ahli (misalnya Sutan Takdir Alisjahbana, 1985, dan Md Salleh Yaafar, 1995),
tak syak lagi bahwa puisi-puisi Amir Hamzah pada mulanya mengungkapkan
perasaan rindu dan cintanya kepada kekasihnya, dan kemudian patah hatinya
akibat cintanya yang kandas, seperti tampak dalam puisi-puisi awalnya yang
terkumpul dalam Buah Rindu (ditulis antara 1928-1935). Namun cinta yang
kandas pada kekasih itu menjadi momentum di mana penyair mentransformasi
perasaan rindu dan cinta pada kekasih duniawinya menjadi rindu dan cinta
ilahi, sebagaimana mengemuka dalam puisi-puisi berikutnya yang terkumpul
dalam Nyanyi Sunyi (1937). Sudahlah pasti proses transformasi ini merupakan
satu guncangan mental dan spiritual yang dahsyat, di mana batas antara cinta
manusiawi dan cinta ilahi sangat tipis, kadang baur dan tumpang tindih. Tapi
bagaimanapun, dilihat dari berbagai segi, proses transformasi itu memperlihatkan
suatu perubahan yang cukup jelas dalam perkembangan kepenyairaan Amir
Hamzah.
Demikianlah maka kekasih duniawi berubah menjadi kekasih rohani.
Rindu kepada kekasih ditransformasi menjadi rindu kepada Tuhan. Hasrat
menggebu mencari kekasih ditransformasi menjadi hasrat menggebu mencari
Tuhan. Cinta kepada kekasih ditransformasi menjadi cinta kepada Tuhan,
dan seterusnya. Jadilah rasa rindu dan hasrat yang menyala-menyala untuk
berjumpa dengan Tuhan sebagai pergulatan spiritual yang hebat. Pergulatan
spiritual itu berlangsung cukup panjang, yang secara pelan-pelan dan pasti
mematangkan dunia spiritual penyair. Pergulatan itu berkembang, selangkah
414