Page 432 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 432
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
semangat kerohanian Islam, goncangan batin sebagaimana mengemuka
dalam puisi ketiga penyair ini mungkin bukan bentuk ideal cita ketuhanan. Tapi
bagaimanapun, momen-momen kerohanian seperti itu memiliki acuan dalam
tradisi dan literatur Islam, yaitu kisah-kisah pencarian spiritual sebagaimana
dialami terutama oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Musa, yang diceritakan dalam Al-
Qur’an dan direproduksi dalam banyak literatur Muslim. Kisah pencarian Tuhan
dan pergolakan rohani dua rasul ini merupakan sumber teologis tak terbantahkan
bahwa momen-momen relijius memang tidak selalu mulus, juga bahwa momen
relijius dan spiritual kadang mengalami guncangan dahsyat, bahkan sampai ke
titik yang “berbahaya” secara teologis. Momen relijius yang penuh guncangan
tentu saja merupakan bagian penting dari proses pematangan dunia batin dan
rohani, dan akhirnya dalam proses pemantapan keyakinan akan wujud Tuhan
dan konsekuensi-konsekuensinya, baik secara spiritual, metafisis, maupun
moral.
Dalam puisi Indonesia, yang juga penting adalah gagasan wahdatul wujud sebagai
ekspresi relijius. Wahdatul wujud ―biasa juga disebut wujudiyah― adalah konsep
metafisis yang memandang kesatuan ontologis antara manusia dan Tuhan,
yang merupakan tema penting dalam tasawuf, khususnya tasawuf falsafi. Jika
ekstase mistis, fanâ’, ‘penyatuan rohani’, merupakan momen spiritual di mana
manusia karam dalam lautan ketuhanan, wahdatul wujud merupakan konsep
metafisis yang memandang manusia dan Tuhan sebagai satu kesatuan wujud,
satu kesatuan entitas. Manusia (dan alam semesta) merupakan wujud lahir
Tuhan, sedangkan Tuhan merupakan wujud batin manusia (dan alam semesta)
itu sendiri, sehingga keduanya merupakan satu wujud yang tak terpisahkan. Ini
merupakan spekulasi filosofis yang kontroversial dalam tradisi intelektual Islam
khususnya bidang tasawuf falsafi, termasuk di Nusantara. Meskipun wahdatul
wujud lebih merupakan konsep spekulatif dan intelektual, dalam kenyataannya
ia seringkali dipadankan, disamakan, atau dibaurkan dengan beberapa konsep
pengalaman spiritual seperti penyatuan rohani, ekstase mistis, fanâ’, dan
sejenisnya. Bagaimanapun, kesatuan mistis dimungkinkan oleh pandangan
dasar tentang kesatuan ontologis.
Di antara sedikit penyair yang menyuarakan prinsip metafisis ini dalam puisi
adalah Abdul Hadi W.M. dan Emha Ainun Nadjib. Beberapa puisi Abdul Hadi
5
(2002) jelas bersumberkan tasawuf, misalnya “Sajak-sajak Kelahiran”, puisinya
yang paling jelas menunjukkan dalamnya pengaruh puisi-puisi sufi dan ajaran-
ajaran tasawuf pada penyair ini. Dapatlah dikatakan bahwa semangat relijius
Abdul Hadi adalah semangat kesufian dengan ajaran-ajaran dasarnya, terutama
Cinta (dengan C besar), wahdatul wujud, dan kemanusiaan universal ―tiga
ajaran yang saling berhubungan satu sama lain. Cinta mendasari pemikiran
Abdul Hadi, sebab baginya, seperti juga bagi para sufi, segala sesuatu lahir
dari cinta dan kasih sayang Tuhan, dan karenanya cinta ilahi merupakan suatu
keniscayaan bagi manusia. Berkatalah penyair: Dari Syekh Sanai sampai Iqbal/
Lagu penyair ialah Cinta/ Di mana pun kelopak mawar ini mekar/ dari cinta dan
418