Page 431 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 431

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







           rohani yang berkobar menyala-nyala. Dia bagai kucing lapar mengiau-ngiau,
           mengerang, dan meraung berburu daging ―ini metafor penyair sendiri. Bukan
           pencarian Tuhan yang hilang, melainkan pencarian Tuhan yang paling sejati,
           paling rohani, paling murni, yaitu Tuhan ―dalam kata-kata Sutardji (Bachri, 1981:
           37)― yang paling Kau. Beberapa kali penyair mengatakan: aku telah tinggalkan
           puri pura-puraMu. Bagaimanapun Tuhan tak pernah hilang dari penghayatan
           penyair, tapi kucing rohani sang penyair yang kelaparan terus berburu Tuhan
           dengan segenap tenaga dan kegelisahan spiritualnya. Pergulatan spiritual
           penyair adalah dorongan hebat untuk menjangkau wujud yang tak terjangkau
           itu: dengan seribu sesal kucari Kau dengan segala asal kucari Kau dengan seribu
           akal kucari Kau dengan seribu dajal kucari Kau (“Amuk”, (Bachri, 1981: 64).
           Dan, alangkah pedih segala usaha menjangkau yang tak terjangkau (“Amuk”)
           (Bachri, 1981: 77):

                kuharap isiNya kudapat remahNya
                kuharap hariNya kurasa resahNya
                kusangat inginNya kujumpa ogahNya
                kumau Dianya kutemu jejakNya.





           Dan sampailah penyair di puncak ekstase mistis, yang dalam literatur tasawuf
           disebut  fana’:  ... duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhai
           sangsai oku okau okosong orindu okalian obolong orisau oKau O... (Bachri, 1981:
           32). Dan, ujung dari semua pergulatan spiritual yang hebat itu adalah tajallî, yakni
           pencerahan spiritual, sebuah kesadaran baru yang bangkit dari puncak paling
           tinggi pendakian rohani sekaligus dari asas paling dasar kerendahan hati: walau
           penyair besar/ takkan sampai sebatas allah// dulu pernah kuminta tuhan/ dalam
           diri/ sekarang tak//...// walau penyair besar/ takkan sampai sebatas allah (Bachri,
           1981: 131)). Kesadaran baru ini terus dipupuk, yang dalam perkembangan
           spiritual Sutardji selanjutnya mencapai pencerahan rohani, apalagi setelah sang
           penyair menjalankan ibadah haji di akhir tahun 1980-an. Hal ini tampak dalam
           sajaknya “Berdepan-depan dengan Ka’bah” (Sutardji Calzoum Bachri, 2003),
           puisi yang ditulisnya setelah dia menjalankan ibadah haji. Puisi ini merangkum
           pengalaman rohani penyair, sebuah pengakuan akan kegelisahan spiritual
           yang dulu dialaminya sekaligus penegasan bahwa kegelisahan spiritual yang
           dulu meronta-ronta itu kini sudah reda, dijinakkan oleh pencerahan spiritual.
           Pergulatan rohani yang sempat mengguncang dunia batinnya sebagai luka,
           akhirnya mengantarkan sang penyair ke tingkat penghayatan relijius dan
           spiritual yang sangat dalam.

           Menyangkut pergolakan rohani yang hebat ini, mungkin tidak ada penyair
           Muslim Indonesia mengalami guncangan ketuhanan sehebat apa yang dialami
           dan dikemukakan Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan Sutardji Calzoum Bachri,
           sebagaimana tampak dari puisi-puisi mereka. Dilihat dari pandangan umum





                                                                                                417
   426   427   428   429   430   431   432   433   434   435   436