Page 430 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 430

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







                                    dan setelah mencapai maqam baqa’, suatu tingkat spiritual yang sangat tinggi
                                    dalam struktur spiritual tarekat, ia beralih ke tarekat Qadiriyah.

                                    Dalam intensitas dan corak yang berbeda, pergolakan batin yang hebat
                                    menyangkut penghayatan ketuhanan tampak juga pada Chairil Anwar (1922-
                                    1949), penyair yang dikenal sebagai binatang jalang ―itu kata-katanya sendiri.
                                    Puisi-puisi Chairil Anwar penuh vitalitas, penuh tenaga, menyuarakan hidup
                                    yang menggelora dan penuh semangat ―nada yang sejalan dengan semangat
                                    zaman revolusi, tahun-tahun lahirnya puisi Chairil Anwar sendiri, di mana dia
                                    juga menulis beberapa sajak perjuangan. Dalam puisi-puisinya, dia  ―dalam
                                    kata-katanya sendiri― meradang menerjang. Bahkan meskipun puisi-puisinya
                                    berbicara tentang cintanya yang kandas dengan seluruh pedih-perihnya,
                                    puisi-puisi itu tetaplah berapi-api. Bahkan pun puisinya tentang Tuhan. Dalam
                                    puisinya  “Di  Masjid”,  dikatakan  bahwa  bukan  penyair  yang  datang  kepada
                                    Tuhan, melainkan Tuhan yang datang kepada sang penyair, dengan cara yang
                                    tidak lazim pula: kuhardik saja Dia/ akhirnya datang juga. Di sini dia bertemu
                                    dengan Tuhan dalam gelanggang perang batinnya sendiri yang berkobar-kobar.
                                    Ini ruang/ gelanggang kami berperang, kata Chairil. Di gelanggang perang itu,
                                    sang penyair meradang: binasa-membinasa/ satu menista lain gila. Dengan kata
                                    lain, bahkan di hadapan Tuhan pun sang penyair meradang menerjang.

                                    Namun dalam puisi “Doa”, yang ditulis 6 bulan setelah puisi “Di Masjid”, sikap
                                    penyair berubah total. Masa-masa pergulatan spiritual yang hebat tampaknya
                                    telah dilewati sang penyair. Di sini dia tidak lagi meradang menerjang, tidak lagi
                                    menghardik Tuhan, melainkan menemui-Nya dengan segala rasa bersalah dan
                                    kerendahan hati: Tuhanku, dalam termangu aku masih menyebut namamu...//
                                    caya-Mu panas suci/ tinggal kerlip lilin di kelam sunyi//.... Sang penyair mengakui
                                    bahwa cahaya Tuhan hanya tinggal kerlip lilin  yang nyaris padam di ruang
                                    batinnya  yang  sunyi.  Kesadaran  ini  membawa  sang  penyair  pada  kesadaran
                                    lain tentang dirinya di hadapan Tuhan, hingga reduplah vitalitasnya yang dulu
                                    angkuh berkobar-kobar, padamlah perasaan tinggi hatinya yang dulu menyala-
                                    nyala. Lebih jauh, puisi itu mengekspresikan perasaan menyesal dengan sangat
                                    dalam, mengemukakan juga rasa pasrah dan berserah diri sepenuhnya hanya
                                    kepada Tuhan: di pintuMu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling. Bahwa sang
                                    penyair mengetuk pintu Tuhan, dan bukannya berjumpa dengan Tuhan, jelaslah
                                    itu mengemukakan perasaan-tak-pantas penyair sendiri untuk bertemu Tuhan
                                    secara langsung. Perasaan-tak-pantas bertemu langsung dengan Tuhan ini
                                    tentu juga mengemukakan adanya jarak spiritual sebagai konsekuensi dari rasa
                                    bersalah yang sangat dalam sekaligus mohon ampun yang sungguh-sungguh.


                                    Penyair yang juga mengalami kegelisahan dan pencarian spiritual hebat adalah
                                    Sutardji Calzoum Bachri (l. 1940), penyair generasi yang lebih kemudian.  Puisi-
                                                                                                        4
                                    puisinya yang terhimpun dalam O Amuk Kapak (1981) mengemukakan pencarian
                                    Tuhan yang berdarah-darah, sebuah pergulatan batin dengan rasa sakit yang
                                    pedih-perih, dengan resah dan luka yang dalam namun juga dengan semangat





                    416
   425   426   427   428   429   430   431   432   433   434   435