Page 434 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 434

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







                                          Seperti angin dan arahnya
                                          Kita begitu dekat

                                          Dalam gelap
                                          Kini aku nyala
                                          Pada lampu padammu.





                                    Sementara itu, puisi-puisi Emha Ainun Nadjib (l. 1953) menunjukkan
                                    perkembangan renungan kerohanian cukup penting.  Puisi-puisi relijius awalnya,
                                    yaitu  99 untuk Tuhanku  (1983), mengungkapkan rasa rindu dan keinginan
                                    kuat untuk berjumpa dengan Tuhan:  ... ayo, Kekasihku/ Engkau bakal terus
                                    kusongsong/ dengan pisauMu/ tikam aku dan jilat darahku/ kerongkonganku
                                    mengelegak: haus/ akan apiMu. Dalam perkembangan berikutnya, yaitu dalam
                                    buku puisi Cahaya Maha Cahaya (1991), yang dikemukakan bukan hanya hasrat
                                    bertemu dengan Tuhan, sebab di sini perjumpaan dengan Tuhan rupanya telah
                                    dicapai,  baik secara spiritual  maupun intelektual.  Yang dikemukakan di sini
                                    adalah berbagai ekstase mistis sebagai pengalaman spiritual, yang dilandasi
                                    atau melandasi pemikiran spekulatif tentang keniscayaan kesatuan manusia dan
                                    Tuhan, yakni gagasan wahdatul wujud. Hal itu tampak misalnya dalam puisi
                                    “Aku Mabuk Allah” (1991: 54): ... segala-galanya allah/... nyamuk tak nyamuk/
                                    kalau tak mengabarkan allah/ langit tak langit/ kalau tak menandakan allah/
                                    debu tak debu/ badai tak badai/ kalau tak membuktikan allah/ kembang tak
                                    mekar/ api tak membakar/ kalau tak allah/ .../ kalau matahari memancar/ siapa
                                    sebenarnya yang menyinar/ kalau malam legam/ siapa hadir di kegelapan/ kalau
                                    punggung ditikam/ siapa merasa kesakitan/.../ allah semata/ allah semata/ ....


                                    Puisi-puisi Emha yang bertemakan faham wahdatul wujud dikemukakan dalam
                                    berbagai cara dan perbandingan, dan seringkali dengan kuat memberikan kesan
                                    ekstase mistis. Puisi-puisinya memang cenderung membaurkan antara ekstase
                                    mistis dan spekulasi filosofis sebagai kesatuan manusia dan Tuhan ―sebagaimana
                                    juga kerapkali dibaurkan secara konseptual. Tapi cukup jelas bahwa di satu sisi
                                    beberapa puisinya memang mengekspresikan ekstase mistis sebagai  momen
                                    relijius dan spiritual, namun di sisi lain ekstase mistis kadang digunakan penyair
                                    sebagai cara mengemukakan renungan-renungan filosofis tentang kesatuan
                                    alam khususnya manusia dengan Tuhan sebagai spekulasi intelektual, atau
                                    sebagai landasan baginya. Misalnya puisi “Ia Bermain Cinta” ini (Nadjib, 1991:
                                    62-69):  ... hai! ―tarian melonjak― aku ini kau!/ kaulah aku/ kau tarian ini! kau
                                    sendiri!//...// ... ah! Macam-macam cara ia bermain cinta/ bermain jadi ia/ jadi
                                    kau/ jadi aku/ jadi tiada, ada, tiada/ kami tertawa-tawa/ pura-pura saling tanya
                                    siapa//.... Puisi ini mengemukakan bahwa Tuhan mewujud jadi ia, jadi engkau,
                                    jadi aku sebagai permainan cinta-Nya dalam imajinasi tarian mabuk rohani.








                    420
   429   430   431   432   433   434   435   436   437   438   439