Page 429 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 429
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
demi selangkah, sebagai pendakian spiritual. Dalam puisi “Naik-naik”, misalnya,
penyair menegaskan pendakian spiritual yang ditempuhnya, sebuah pencarian
sesuatu yang lebih tinggi dan agung. Dengan bahasa yang mengesankan, yang
dihasilkan oleh eksplorasi kata-kata dan rima, baik asonansi maupun aliterasi,
tentu pula oleh guncangan batin yang luar biasa, penegasan penyair tentang
pendakian dan dahaga spiritualnya begitu sugestif dan mempesona:
Membubung badanku, melambung, mengawan
Naik, naik, tipis-rampis, kudus-halus
Melayang-terbang, mengambang-kambang
Menyerupa-rupa merona-warni langit-lazuardi
....
Jadilah puisi-puisinya mengungkapkan pendakian spiritual hingga mencapai
puncak ekstase mistis, seperti tampak dalam puisinya “Hanyut Aku” berikut ini:
Hanyut aku, kekasihku!
Hanyut aku!
...
Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam
Tenggelam dalam malam
Air di atas menindih keras
Bumi di bawah menolak ke atas
Mati aku, kekasihku, mati aku!
Puisi yang sangat bagus melukiskan atau mewakili seluruh perih-pedih cinta
duniawi dan cinta ilahi Amir Hamzah tentu saja “Padamu Jua” ―puisinya
yang paling terkenal. Sepintas puisi itu bisa dipahami sebagai cinta biasa atau
cinta manusiawi. Dalam puisi tersebut, mu, kau, dan engkau memang bisa
dipahami sebagai kekasih duniawi. Namun penyair mengunci engkau dalam
satu larik yang tak memungkinkan lagi dipahami sebagai kekasih duniawi, yaitu
larik serupa dara di balik tirai. Kata serupa dalam larik tersebut adalah kunci.
Karena engkau serupa dara, maka engkau bukanlah dara itu sendiri. Di situ,
engkau tak lain adalah engkau spiritual, engkau mistikal. Puisi yang juga sangat
mengesankan dari segi estetika itu melukiskan pula krisis spiritual penyair dalam
pengembaraan mistikalnya yang pastilah tidak mulus. Tidaklah mengherankan
kalau Amir Hamzah terobsesi oleh esktase mistis. Selain belajar agama Islam sejak
usia dini dan besar dalam lingkungan keluarga bangsawan Langkat yang saleh,
Amir adalah juga anggota tarekat (Md Salleh Yaafar, 1985: 64). Ketika pulang
ke Langkat di tahun 1929, Amir dibaiat menjadi angota tarekat Naqsyabandiah,
415