Page 426 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 426
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
pada Nabi Muhammad dan keluarganya, yang biasanya secara puitis diikuti
dengan mengisahkan riwayat hidupnya, perjalanan isra’ mi’rajnya, dan lain
sebagainya. Dalam tradisi Islam, jenis puisi ini melahirkan tradisi puisi madâih
dan puisi na’thiyah, serta puisi-puisi shalawat yang di berbagai sudut dunia Islam
dinyanyikan bersama-sama dengan iringan rebana. Lingkaran ketiga adalah
sastra ilmu dalam tradisi intelektual Islam, berupa syair-syair tentang berbagai
disiplin ilmu seperti tauhid, fiqih, sejarah, dan tata bahasa. Di samping diuraikan
secara diskursif, dalam tradisi intelektual Islam berbagai disiplin ilmu diuraikan
dalam puisi (syair), yang secara tradisional melahirkan tradisi nadham. Lingkaran
keempat adalah karya sastra yang berbicara tentang tema-tema umum sebagai
manifestasi dari titik sentrum dan lingkaran pertama, yaitu terutama tema-tema
sosial, di samping tema alam, lingkungan, isu-isu lokal, berbagai tradisi, dan lain
sebagainya yang sejalan dengan doktrin pokok Islam. Termasuklah ke dalam
lingkaran ini puisi-puisi didaktis, pribahasa, pasemon, petatah-petitih, dan lain-
lain. Lingkaran kelima adalah sastra “profan”, yaitu karya sastra yang berisi
tema-tema yang dari sudut pandang moral Islam boleh dibicarakan namun
sebaiknya dihindari, misalnya tema cinta dalam batas tertentu.
Model lingkaran konsentris di atas akan digunakan sebagai alat memandang
atau kacamata untuk melihat, merekonstruksi, mendeskripsikan, menafsirkan,
menganalisis, mendiskusikan, dan menilai fenomena Islam dalam sejarah puisi
Indonesia modern sebagai karya kreatif para penyair. Dengan demikian, diskusi
3
ini bersifat tematik, yakni mendiskusikan Islam dalam puisi Indonesia dengan
kerangka tema tertentu sesuai dengan lingkaran-lingkaran konsentris tadi.
Dalam proses kerja itu, akan digunakan pula perspektif sejarah. Itu berarti, diskusi
secara garis besar dan sebisa mungkin bersifat diakronis (historis, kronologis)
dan sinkronis, namun dalam banyak hal akan terjadi tumpang-tindih antara
segi diakronis dan sinkronis sebagai konsekuensi tak terhindarkan dari sifat
tematik diskusi ini. Dengan beberapa keterbatasan dan pertimbangan khususnya
menyangkut mutu estetik puisi dan posisi sosial-budaya para penyair, ruang
lingkup tulisan mencakup puisi Indonesia sejak generasi tahun 1930-an, dimulai
dari Amir Hamzah, penyair yang oleh A Teeuw (1979: 84) disebut penutup puisi
Melayu sekaligus pembuka puisi Indonesia modern, sampai generasi sastra 1970-
an, yang terus produktif mencipta puisi hingga dekade-dekade berikutnya. Perlu
dikatakan bahwa ―sekali lagi: dengan segala keterbatasan― apa yang disajikan
dalam tulisan ini bagaimanapun hanyalah panorama umum dan singkat tentang
Islam dalam sejarah puisi Indonesia modern.
Dengan menggunakan kacamata lingkaran-lingkaran konsentris seperti telah
diuraikan, yang segera dapat dilihat dari segi-segi Islam yang menonjol dalam
puisi Indonesia modern adalah sajak-sajak ketuhanan, sajak-sajak kenabian, dan
sajak-sajak sosial (serta sajak-sajak umum). Sajak-sajak ketuhanan mengandung
spektrum dan dimensi yang penting, yaitu hasrat untuk mendekatkan diri atau
berjumpa dengan Tuhan, ekstase mistikal, dan pandangan spekulatif tentang
kesatuan ontologis antara manusia dan Tuhan itu sendiri, yakni satu pandangan
412