Page 427 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 427

Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4







           yang bercorak panteistik. Dalam pada itu, seiring dengan transformasi syair
           dalam puisi Melayu tradisional ke puisi Indonesia modern, puisi bukan lagi
           bahasa ilmu. Jika syair berkembang baik sebagai bahasa sejarah, bahasa ilmu,
           bahasa didaktis, dan lain sebagainya, dalam puisi Indonesia modern puisi lebih
           (bahkan sepenuhnya) merupakan bahasa emotif. Maka, sia-sialah melihat puisi
           Indonesia modern sebagai bahasa ilmu sebagaimana dalam syair Melayu dan
           tradisi intelektual Islam. Maka, puisi sebagai bahasa ilmu dalam puisi Indonesia
           modern tak mungkin didiskusikan. Sudah tentu banyak pula puisi bertema
           umum seperti pengalaman dan renungan yang sangat pribadi sebagaimana
           juga banyak puisi bertema profan seperti cinta. Tetapi, karena luasnya cakupan
           tema umum dan “profan” ini, tidak mudah mencari acuan langsungnya dalam
           Islam baik sebagai agama maupun tradisi untuk mengklaimnya sebagai sesuatu
           yang bertolak dari nilai-nilai Islam yang benar-benar dianjurkan. Karenanya,
           meskipun tema umum dan profan tersebut mungkin bertolak dari kesadaran
           keislaman para penyair, bagaimanapun tidak mudah membicarakannya dari
           sudut pandang moral Islam, dan karenanya tak akan didiskusikan.











           Puisi Ketuhanan






           Aspek paling mendasar dari fenomena Islam dalam puisi Indonesia modern
           tidak bisa tidak adalah puisi ketuhanan, yang merefleksikan momen-momen
           penting kesadaran relijius penyair, kegelisahan rohaninya, pergolakan batinnya,
           pencarian spiritualnya, dan lain sebagainya. Hampir semua penyair Indonesia
           mengalami momen-momen penting tersebut, bahkan pun penyair yang seringkali
           diasosiasikan sebagai penyair yang paling “liar” seperti Chairil Anwar. Momen
           relijius tentulah merupakan pengalaman penting bagi para penyair Indonesia
           sebagai Muslim yang dengan jujur ―dan kadang berani juga― mengemukakan
           kesadaran dan renungan ketuhanannya dengan berbagai perangkat puitiknya,
           baik dengan menggali dan mengacu langsung pada tradisi Islam maupun tradisi
           lain ―dan diperkaya dengannya. Bagi mereka, Tuhan dan kesadaran ketuhanan
           merupakan tempat pertama sekaligus terakhir bagi berbagai masalah yang
           mereka alami dan mereka hadapi, yang dengannya mereka memberikan makna
           relijius pada semua hal.

           Tentu saja, pengalaman relijius sangatlah personal, sehingga setiap penyair
           memiliki pengalaman sendiri, dan karenanya memiliki daya ungkap uniknya
           masing-masing menyangkut kesadaran ketuhanan ini, yang dalam batas




                                                                                                413
   422   423   424   425   426   427   428   429   430   431   432