Page 436 - SKI jld 4-16 2015 Resivi Assalam
P. 436
Buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia - Jilid 4
makna khusus. Lebih dari sekadar mengingat dan menyebut nama Tuhan,
berzikir adalah mengekspresikan berbagai dimensi kerohanian dalam kerangka
hubungan alam, khususnya manusia, dengan Tuhan, di mana alam dan manusia
menghubungkan diri secara khusus dengan Tuhan itu sendiri, mengadukan diri
sendiri dan berbagai masalah yang dihadapinya, mengembalikan semuanya
kepada Pemilik sejatinya, dan terutama mengagungkan-Nya. Berzikir adalah
mengekspresikan berbagai dimensi kerohanian dan emosional yang tak sanggup
diungkapkan dengan cara lain untuk menemukan makna hidup yang murni dan
sejati, dengan cara mengaramkan diri di lautan ketuhanan.
Di antara penyair penting yang menulis puisi zikir adalah Taufiq Ismail, A. Mustofa
Bisri , Hamid Jabbar, dan D. Zawawi Imron. Taufiq Ismail (2008a: 750, 751)
6
menulis puisi “Zikir Tak Putus-putus” dan “Atap Rumah yang Berderik-derak”.
Yang pertama merupakan ekspresi zikir alam; yang kedua mengekspresikan zikir
sebagai ironi. Sementara itu, puisi zikir Mustofa Bisri (1995) adalah “Sujud” dan
terutama “Nasihat Ramadlan buat A. Mustofa Bisri”, berupa renungan pribadi
tentang arti sujud dan spirit bulan Ramadan, sekaligus menyuarakan renungan
sosial. Hamid Jabbar, penyair yang wafat saat membacakan puisi di UIN Jakarta
7
pada tahun 2004, menulis beberapa puisi zikir, di antaranya adalah “Zikrullah”
8
(2004: 3), puisi panjang yang terdiri dari 33 nomor. Puisi ini mengemukakan
suasana mistis, yang berakhir dengan ekstase mistis pula, di mana suasana batin
penyair karam di lautan kerohanian: Hai jiwa dalam samudera,/ hai samudera
dalam ruh!/ Hai jiwa dalamNya/ padulah engkau padulah ruh:/ Allah Allah
Allah Allah Allah. Puisi zikir Hamid Jabbar yang lebih melukiskan ekstase mistis
adalah “Sebelum Maut itu Datang ya Allah” (2004: 33). Puisi ini menyuarakan
kerinduan penyair akan suasana spiritual di mana sang penyair benar-benar
tenggelam di lautan ketuhanan.
Puisi zikir yang sangat sugestif adalah puisi Zawawi Imron, di antaranya puisi
“Lidah, Berzikirlah” (2010: 39), “Keroncong Air Mata” (2003: 134), dan
terutama “Zikir” (Imron, 1999: 9). Mengacu langsung pada huruf pertama abjad
Al-Qur’an, diperkaya dengan menggali dan menggunakan tradisi sebagai alat
memperdalam ekspresi zikir, didukung pula oleh piranti puitik yang kuat, puisi
“Zikir” D. Zawawi Imron terasa memadukan dimensi-dimensi emotif bahasa
dan dimensi-dimensi kerohanian agama:
ZIKIR
alif, alif, alif
alifmu pedang di tanganku
susuk di dagingku, kompas di hatiku
alifmu tegak jadi cagak, meliut jadi belut
hilang jadi angan, tinggal bekas menetaskan
terang
422